Perasaan itu tiba-tiba saja adanya.
Begitu senang, dan hanya senang, mengetahui kau masih ada, di sana.
Ketika kau menghilang, sungguh..aku benar-benar kehilangan, dan kosong.
Seperti gelas tak berisi.
Aku sadar terlalu dini untuk mengatakan semua ini padamu.
Dan aku hanya berharap, kau tahu, mengerti apa yang kurasakan.
Pun kalau ini hanya perasaan sesaat, sungguh, aku tak akan pernah menyesalinya.
Tetapi apabila kau juga merasakannya,
Demi Tuhan, aku sangat menyukuri anugerah indah yang Kau berikan saat ini.
Entah apa yang terjadi, karena aku merasa senang, happy……
Seperti kata-kata yang terus kausampaikan padaku,
Bahwa kau selalu baik-baik saja, dan selalu…..
Sama sekali tak pernah terlintas dalam benak Husni, bahwa dengan nyata senyata-nyatanya, Liz telah menyakiti hatinya. Di depan matanya, ia melihat laki-laki kerempeng dan tidak lebih tampan darinya itu bercanda ria dengan perempuan yang beberapa bulan ini mengisi hatinya. Entah apa maksudnya, yang jelas ada perasaan menyesak teramat dalam di lubuk hati terdalam Husni.
“Mungkin aku salah tidak pernah mengatakan kepadamu, bahwa hati ini sudah kaumiliki. Tapi apakah selalu harus semua itu dengan cara mengatakan? Tidakkah kau bisa merasakan?” Jerit hati Husni menahan sakit. Ia ingat hari-hari ketika Liz masih membutuhkannya untuk melewatkan hari, sebagai tempat curhat, dan teman di kala sedih. Sangat jelas terngiang kata-kata Liz di suatu sore, di ruangannya.
“SOri ya, kalau selama ini kamu menjadi tempat curhatku. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Bahkan aku merasa, kamu seolah sudah menjadi bagian dari hidupku.”
Seandainya ada petir di siang hari saat itu, mungkin akan kalah suara dengan kencangnya degup jantung laki-laki low profile itu. Arrghhh…..dan sekarang semua sirna, setelah kedatangan laki-laki ‘entah’ yang seminggu ini menggantikan posisinya menempati kebersamaanya dengan Liz.
Apakah itu sebuah pengkhianatan? Atau bukan? Entahlah, yang jelas ada seseorang yang merasa tersakiti, tersingkir. Ada yang bilang “jangan suka main api, nanti bisa terbakar, begitu juga dengan hati, janganlah dimainin”. Alamakk…..dalam pertemanan saja seandainya kita dikesampingkan begitu ada yang lain, rasanya sungguh sakit. Apalagi kalau tiap-tiapnya main hati, bisa perih. Husni, sebaiknya kauungkaplah isi hati, biar dia mengerti, bahwa hal itu sudah menyakitimu. Tapi kalau memang ia sengaja main hati, keputusannya ada di kamu, menerimanya, membalasnya, atau mengenyahkannya. Tentukan
Kembali ada pelajaran kehidupan buat aku secara pribadi.
Bahwa sebisa mungkin kita mencoba berbuat baik kepada orang lain, karena kita menginginkan hal yang sama, bahkan lebih.
Itu saja kadang kita mendapat balasan yang tidak sesuai.
Apalagi kalu berlaku negatif, efeknya selain ke orang lain, ke diri kita.
Salah satunya adalah ketidakpercayaan orang lain pada kita.
Menyedihkan.
Jarak bisa membuat kita merasa jauh dari seseorang,
Entah itu dalam perasaan tentang sesuatu,
Atau kebiasaan komunikasi, yang terhalang oleh sesuatu.
Tak Jarang hal seperti bisa memunculkan praduga,
Bahwa kita punya rasa curiga, berkurang percaya.
Tapi kalau keyakinan itu ada,
Semua akan terlewati dengan apapun.
Saya termasuk orang yang tidak cukup banyak mempunyai waktu menonton acara televisi swasta nasional. Beberapa alasan saya antara lain; karena tayangan yang ada kurang mendidik, terlalu banyak penjiplakan, dan sekedar menghibur tanpa membuat orang tergelitik untuk mencari makna edkatif di balik tayangan tersebut.
Kalau memang harus menonton, saya lebih menyukai tayangan berita dan sport. Karena menurut saya lebih menghibur dan menantang. Dengan keluarga Saya memfilter diri dengan berlangganan TV Kabel, karena kita bisa memilih tayangan yang lebih bermutu, dalam beberapa hal.
Salah satu hal yang semakin memicu saya untuk semakin peduli pada tayangan-tayangan bermutu adalah juga karena tempat kerja saya sangat konsen untuk selalu menyuarakan mengenai pentingnya pendidikan media. Apalagi kalau hal ini diterapkan pada anak-anak, sedari dini.
Selain judul lagu lama dari New Kids on The Blocks, title ini mengingatkanku pada bad habitku sendiri. Semasa kuliah, paling sebel waktu mengisi KRS (katu rencana studi), karena banyak banget berkas yang harus diisi. Aku bukan orang yang rapi di administrasi, karena aku sendiri termasuk orang yang tidak begitu suka keteraturan, tetapi lebih suka sesuatu yang indah, dinamis, nyeni. Tetapi bukan berarti jorok lho.
Masa mengisi KRS adalah bagian paling meresahkan, karena harus memilah berkas-berkas segambreng itu, mengisinya, dan menatanya kembali, menyerahkan ke bagian tata usaha. Belum harus meminta tanda tangan dosen wali segala. Walah! Hal pertama tersulit adalah memulainya. Untung aku punya teman yang baik hati, mendampingiku, mendorong semangatku, namanya Nining. Dia tak sampai hati memandang juteknya tampangku. Katanya: Ri, kalau nggak dijalanin ya selamanya ngebetein. Sudahlah, mulai saja satu per satu, lama-lama kan kelar juga. Daripada bete HANYA memandang kertas-kertas berserakan seperti itu.
Wewww......emberrr. Semenjak itu aku tak malas lagi. Seperti saat pekerjaan sedang menumpuk, laporan segabreg harus dikerjakan,pada satu waktu. Semua harus dijalanin, satu per satu, lama-lama selesai juga. Memang....yang paling sulit itu memulainya:-)
Dear pembaca,
Kami mengadakan acara Pemilihan Puteri Indonesia 2009 Tingkat Jawa Tengah dengan final show pada Minggu, 13 September 2009, Pukul 19.00 WIB.
Pendaftaran peserta dimulai hingga 31 Agustus 2009. Persyaratan peserta:
1.WNI, domisili di Jawa Tengah (KTP)
2. Umur 18-25 Tahun
3. Belum Menikah
4. Tinggi badan minimal 162 cm.
Silahkan kalau ada rekanan,atau Anda ingin mendaftar, harap hubungi sekretariat panitia:
Anton Production
Semarang Indah E/ X-9 Semarang
Tlp (024) 7623938
HP 024 70556 148 dan 081 575 170599
Terima kasih.
Alhamdulillah...
Event Borobudur Travel Mart (BTM) 2009 akhirnya rampung. Sarat pengalaman sebagai event organizer yang turut serta di dalamnya, sengan segenap upaya, supaya tidak mengecewakan.
Kesan mendalam juga disampaikan perwakilan peserta BTM dari Philipina, sewaktu acara pelepasan di Restoran Pondok Daun, Kompleks Pantai Marina, Semarang. Meski sederhana, farewell party yang dihadiri seluruh peserta BTM terdiri atas trader, investor, dan wisatawan lokal serta asing cukup menjadi kesan bagi siapa yang hadir malam itu. Ya ya ya...semoga investasi di Jawa Tengah semakin bertambah di kemudian hari.
Terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu lancarnya acara ini. Sampai jumpa tahun depan.
Borobudur Travel Mart (BTM) adalah salah satu rangkaian acara dalam Borobudur International Festival (BIF) yang diselenggarakan pada 16-20 Juli 2009.
Borobudur Travel Mart merupakan pameran wisata dan travel di Seluruh Indonesia, dilaksanakan pada Sabtu, 18 Juli 2009, di Hotel Gumaya, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Acara ini diikuti buyers dan sellers dari negara-negara asing (Hongkong, Malaysia, India, SIngapura) dan investor serta traders lokal dari seluruh Indonesia.
Acara ini bertujuan menyemarakkan prospek wisata dan perdagangan di Jawa Tengah dan Semarang pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Rangkaian acara Borobudur International Festival juga diharapkan bisa membuat Borobudur kembali harum namanya di kancah Internasional.
Habis lihat foto jaman dulu, jadi nyadar kalau perlahan perubahan itu melingkupi diriku. Geli kalau ingat jaman SD, aku begitu pemalu. Masuk SMP aku dikenal dengan gadis pemalu, pintar, disukai teman cowokku yang nakal, tampan dan terkenal playboy, tetapi aku justru naksir adik kelasku. Padahal, aku sama sekali tak tahu, apa sih makna cintaaaaa? Setahuku aku hanya suka melihat Irwan, adik kelasku yang akhirnya juga menyukaiku. Bah! Cinta monyet macam apa ini hahaha..
Begitu SMA, aku malah menjadi pelopor tukang bolos di kelas, karena mayoritas teman cewekku kutu buku, maklum anak Fisika kan begitu. Jaman kuliah aku begitu tomboy, tak kenal make up, dandan metal. Jins belel, kaos oblong, rambut cepak, gaya sok cool (malah kesannya jadi judes dan galak). Kaos saja nggak ada yang model feminim, semua ala cowok, oblong. Kuliah jarang pakai sepatu, kecuali dosennya killer. Seminggu sekali pasti nonton konser music. Sampai nggak peduli malam pun diniatin, lompat pagar juga pernah beberapa kali. Untung punya sepupu dan teman-temannya yang mau ngejagain kalau nonton music di malam hari. Maklum suka ada tawuran di luar lokasi konser.
Tapi seiring perkembangan umur, jelang skripsi, semua berubah. Aku menjadi feminim. Memanjangkan rambut, lebih rapi, lebih peduli dengan lingkungan sekitar, tak pelit menebar senyum, care dengan teman yang mampir ke kost, suka merawat diri. Sepertinya itu berlanjut sampai sekarang. Meski kombinasi di antara style sebelumnya itu tetap ada. Misalnya meski aku suka pakai rok, tapi seneng bola, suka nonton F1, seneng music slow rock, keras, usil, suka otomotif berbau sport, tapi suka juga memasak. Parahnya lagi sering nangis kalau dikerjain, apalagi kalau nyangkut hati. Hahaha….
Maafkan aku ya, Ri.
AKu hanya bisa tersenyum karena cukup mengerti,
bahkan jauh hari sebelum kalimat itu terucap dari bibir kamu.
Meski sebenarnya aku tak tahu,
apakah kalimat itu cukup pantas terucap, di saat ini.
Sepenuhnya aku yakin bahwa tak ada yang bisa lebih aku harapkan,
dari awal sudah aku sampaikan.
Bukannya aku menang,
dan tak mau munafik untuk mengatakan,
bahwa aku tak suka.
Tetapi sekali lagi,
bahwa aku cukup punya hati untuk dicintai,
bukan untuk membenci.
I have climbed the highest mountains
I have run through the fields
Only to be with you
Only to be with you
I have run I have crawled
I have scaled these city walls
Only to be with you
But I still haven't found
What I'm looking for
But I still haven't found
What I'm looking for
I have kissed honey lips
Felt the healing in her fingertips
It burned like fire
This burning desire
I have spoke with the tongue of angels
I have held the hand of a devil
It was warm in the night
I was cold as a stone
But I still haven't found
What I'm looking for
But I still haven't found
What I'm looking for
I believe in the Kingdom Come
Then all the colors will bleed into one
But yes I'm still running.
You broke the bonds
You loosened the chains
You carried the cross
And my shame
And my shame
You know I believed it
But I still haven't found
What I'm looking for
But I still haven't found
What I'm looking for
Tak ada yang mengesankan dari perjalanan ke Jogja waktu itu, seandainya dari awal tidak ada motivasi istimewa dari Andy untuk meberikan surprise buat Liz. Sampai hari inipun masih terbayang jelas hadiah kaos berlogo Manchester United kesayangan, hadiah ultah dari perempuan yang selalu mengusik hatinya itu. Sudah lama pria botak itu menerka-nerka balasan hadiah yang diinginkan Liz. Sampai kemudian pertanyaan itu terjawab ketika ia ngobrol dengan Liz.
“Batik Jogja bagus ga sih?” Andy memancing pembicaraan.
“Bagus banget, murah-murah lagi. Trus di sana juga update model. Kamu mau belikan aku?” Mata Liz mengerling menggoda pria yang suka motor sport itu. Jantung Andy terkesiap.
“Emang kamu suka?” tanya Andi setengah bergetar gugup. Liz tersenyum simpul.
“Ya sukalah. Apalagi kalau buat tidur. Kan batik ada yang adem juga tuh. Kamu mau ke Jogja apa?”
“Ya lihat nanti.” Jawab Andy singkat. Hatinya berbunga-bunga senang dan penuh harap.
***
Dan akhirnya Jumat sore, Andy, Juan, Riri, Heli, Erna dan Indra pergi ke Jogja. Tujuan utama sih menghadiri acara perkawinan teman, sekalian mencari barang-barang untuk keperluan pribadi. Setelah menghadiri resepsi, berenam mereka ke Malioboro untuk membeli keperluan masing-masing. Hampir 2 jam keliling berpencar Erna menelepon memberitahu kalau sudah menunggu di mobil dan siap untuk perjalanan berikutnya. Riri, Heli dan Juan bergegas menuju ke tempat parkir. Ternyata Andy dan Rif belum juga nongol sampai hampir setengah jam kemudian. Beberapa kali ditelepon bilangnya sedang otw ke parkiran. Lama banget. Sampai akhirya dari kejauhan yang ditunggu-tunggu muncul. Andy menenteng tas kertas yang di dalamnya ada belanjaan.
“Uh la la....belanja toh. Apaan tuh?” Riry penasaran. Andy tersenyum penuh arti.
“Apaan sih?” Juan tak kalah penasarannya.
“Ada deh....” Andy masih senyam-senyum tak jelas. Ya sudah, daripada kecewa mendingan diam dan masuk lagi ke mobil. Giliran Erna nyetir sampai di Kasongan, surga buat orang yang sangat menyukai gerabah untuk interior rumah. Sementara itu Andy tampak tersenyum sumringah di samping Rif yang juga ikut berbahagia. Melihat kelakuan mereka, Juan mendelik curiga.
“Hayo, kalian menyembunyikan sesuatu ya?” tanyanya menyelidik. Rif tertawa terbahak-bahak.
“Enggak kok enggak. Tuh, Andy yang lagi seneng banget hari ini. Ups...” Rif menutup mulutnya tanda telah kelepasan ngomong. Andy sontak menginjak kakinya keras hingga ia menjerit tertahan.
“Kamu beli oleh-oleh apa sih?” Kembali Juan mendesak Andy untuk mengaku. Pria yang hari itu berkaos hitam menggeleng-gelengkan kepala. Juan merebut tas kertas dari pegangan Andy. Kontan muka Andy merah padam dibuatnya. Juan tak sabar membuka bungkusan plastik putih dari dalam tas. Matanya membelalak lebar melihat barang yang dibeli Andy.
“Dasterrr?? Buat siapa? Seksi banget lagi, ada tali kecil di pundak.” Juan bertanya setengah menggumam. Matanya nanar mengamati daster warna pink berukuran jumbo di tangannya. Rif tersenyum-senyum simpul.
“Kok kamu tertawa, Rif? Kamu tahu ya buat siapa daster batik adem itu?” Riri ikutan nyeletuk.
“Tanya Andy dong. Kan dia yang beli. Aku sih cuman milihin model aja.” Rif menjawab sambil tersenyum-senyum menyebalkan. Di sampingnya muka Andy sudah tak keruan. Antara malu, senang, takut karena harus menjelaskan, dan nervous. Juan masih memegang-megang daster itu. Matanya melirik ke Andy setengah kesal karena tak kunjung ada jawaban ke luar dari mulutnya.
Hmm...setahu Juan sih nggak ada cewek yang didekatin Andy saat ini. Ia orang nomor satu tempat curhat Andy. Jadi, seharusnya ia tahu, siapa cewek yang dihadiahi daster oleh Andy. Tapi yang ini? Dalam hati ia berharap, mudah-mudahan Andy memberikannya pada perempuan yang tepat. Ya ya ya....semoga*
Tidak menyakiti,
Melainkan berbagi kasih
Mengerti, memahami dengan sepenuh hati
Berani meminta dan memberinya maaf
Dengan segenap toleransi,
Bukan untuk mengulang kesalahan yang sama
Saling mencintai itu membebaskan..
Apabila menyenangkan keduanya
Bukan salah satu menjadi senang dan tertawa
Sementara di sisi lain, ada seseorang terluka
Terabaikan...
Masihkan bisa kita mengecap makna ‘saling mencintai’?
Yang sangat berbeda artinya dengan...
Aku mencintai,
Atau kamu mencintai?
“Dit, aku nggak pernah tahu ada apa sebenarnya dengan Joey. Dia tak pernah mengenalkan aku pada teman-temannya. Sebaliknya, aku sangat terbuka padanya. Kalau aku tanya dia selalu beralasan, teman-temannya beda dengan lingkunganku, yang sangat terbuka, dan bisa menerima segala perbedaan, apa adanya. Tapi benarkah hanya itu alasannya? Mungkinkah dia malu mengenalkan bahwa aku pasangannya? Mungkinkah dia takut, ada masa lalunya yang bisa jadi terungkap, apabila aku mengenal teman-temannya? Ataukah ada alasan lain yang aku tak tahu? Apakah aku salah?” mata Heidy tak berbohong ketika dia begitu berharap mendapat jawaban atas pertanyaannya. Sahabatnya, Dity tak bergeming, die menepuk pundak sahabatnya perlahan.
“Dy, yang tahu alasan sebenarnya adalah Joey. Kalau aku menjadi kamu, mungkin akupun bersikap sama. Tapi sudahlah. Kalau sudah beberapa kali hal itu kamu sampaikan padanya dan tak ada perubahan, mau apa? Kamu sudah berusaha. Selanjutnya? Kalau kamu tetap pada role yang berjalan, Tuhan akan kasih yang terbaik atas sikapmu itu. Bisa jadi semua pertanyaanmu itu tadi tak salah, dan sangat wajar. Nikmatilah harimu, Dy. Karena yang bisa membuat kamu bahagia adalah diri kamu, bukan siapapun. Karena diri kamu adalah milik kamu seutuhnya. Semoga saja Joey sadar dan mengerti. Kalau toh pun tidak, dia tahu apa yang sebenarnya telah ia lakukan padamu. Bahwa itu membuat kamu tersiksa, membuat kamu berjalan seperti di awang-awang, kadang curiga, cemburu, dan lainnya. Suatu saat dia akan memahami.”
Green light, seven eleven
You stop in for a pack of cigarettes
You don’t smoke, don’t even want to
I see you check your change
Dressed up like a car crash
The wheels are turning byt you’re upside down
You say when he hits you, you don’t mind
Because when he hurts you, you feel alive
Is that what it is?
Red lights, grey morning
You stumble out of a hole in the ground
A vampire or a victim
It depend’s on who’s around
You used to stay in to watch the adverts
You could lip synch to the talk shows
And if you look, you look through me
And if you talk it’s not to me
And when I touch you, you don’t feel a thing
If I could stay... then the night would give you up
Stay, and the day would keep it’s trust
Stay, and the night would be enough
Faraway, so close
Up with the static and the radio
With satelite television
You can go anywhere
Miami, new orleans, london, belfast and berlin
And if you listen I can’t call
And if you jump, you just might fall
And if you shout I’ll only hear you
If I could stay... then the night would give you up
Stay then the day would keep it’s trust
Stay with the demons you drowned
Stay with the spirit I found
Stay and the night would be enough
Three o’clock in the morning
It’s quiet and there’s no one around
Just the bang and the clatter
As an angel runs to ground
Just the bang and the clatter
As an angel hits the ground
"Aku sudah bersuami, Riz. Tak mungkin aku membagi hati untukmu", kata Yos ketika Riz, laki-laki berumur tujuh tahun di bawahnya itu memohon agar ia membalas cintanya.
"Aku paham. Tolong kamu mengerti, Yos. Aku mencintaimu. Kamu juga harus memahami aku dalam hal ini. Please...bagi hatimu untuk aku. Aku mencintaimu, Yos. Sangat mencintaimu..." tatapan mata Riz begitu menghiba.
Dan selama sebulan penuh, setiap malam yos selalu menerima permohonan cinta laki-laki metrosexual itu. Dan setiap malam itu pula, perempuan yang masih terlihat sangat muda di usianya yang ke-34 itu menepis harapan Riz. Baginya, mengatakan cinta tak sekedar main-main. Membagi hati adalah hal yang tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Hati Yos sudah diserahkan kepada Hans, laki-laki sederhana yang kini mendampinginya. Apapun kelemahan dan kelebihan Hans, adalah kelemahan dan kelebihan Yos. Hans bukan hanya separuh jiwanya, bukan hanya bagian dari hidupnya. Tetapi seluruhnya, adalah hal yang tak terpisahkan.
Tak tahu kenapa,
beberapa hari ini suka banget makan pecel.
Beragam tukang jualan pecel dicobain.
Sampe semalem...
Temen-temen pada ngetawain..
Katanya: obsesi yang sederhana
Pecel!
hehe...
Kabar itu mengejutkan,
Begitu singkat..
kau dipanggil Yang Kuasa
Selamat jalan, kawan
Tuhan punya keputusan indah buatmu
Amien..
“Kalau misalnya nih, kita pacaran, kamu mau nggak?” Kalimat itu selalu menghantui Liz sepanjang hari, sepanjang hidupnya. Jantungnya berdebar tak tentu, hatinya berbunga-bunga. Serasa di atas kepalanya menyembul lambang hati warna pink banyak sekali. Oughh indahnya. Liz tersenyum-senyum sendiri. Sama sekali tak menyangka kalimat itu ke luar dari bibir Joe, laki-laki yang diam-diam dikaguminya. Ternyata Tuhan tahu dan memberi apa yang aku minta, begitu batinnya. Meski banyak yang menilai Liz tidak modis, tomboy, tak proporsional, jadul, rambut konvensional, bla bla.......masa bodoh dengan itu. Toh kenyataannya, ada yang suka. Memang sih setelah kejadian itu, Joe belum mem-follow up lagi hasilnya, apakah Liz menerima atau menolak. Tetapi itu sudah cukup membuat hati Liz penuh warna, bersemangat, never die.
Sementara itu Joe gelisah bukan kepalang. Dia langsung mengevaluasi total perkataan yang sudah disampaikannya kepada Liz.
“Kalau misalnya nih, kita pacaran, kamu mau nggak?” Joe mengingat-ingat kalimat itu. Hmm...baru pakai “misalnya nih..”, artinya belum sungguh-sungguh. Kok Liz bisa pingsan sih? Alamak! Norak bener. Ya ya ya...Joe maklum.
“Mungkin aku satu-satunya cowok yang pernah menembak dia. Karena selama ini memang nggak ada cowok yang suka sama dia. Selain secara fisik Liz tidak menarik, gaya busananya jauh ketinggalan dibanding teman-teman sekampusnya. Selain itu, dia terkenal dengan ke-ge-er-annya yang membuat banyak cowok terbirit-birit menghindari Liz. Uffss...kenapa jadi begini sih? Apakah aku bener suka sama dia? Apa karena ada hal lain?” Joe menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidakkkk!! Joe sadar harus segera membuat keputusan. Tapi bagaimana caranya? Kalau dia mendekati Liz, Joe khawatir perempuan itu gede rasa. Kalau dibiarkan, pastinya dia akan meracau menggosipkan dia sudah menembak Liz. Buah simalakama yang harus dimakan. Huh!
***
Malam harinya Liz mencurahkan semua isi perasaan pada diary usang di depannya. Hanya diary-lah tempat liz berkeluh kesah tentang segala hal. Dia sama sekali tak punya teman dekat, baik laki-laki maupun perempuan. Dari SMA sampai sekarang, jarang dia punya sahabat yang bisa mengerti dia apa adanya. Kepada diary-lah semuanya dia ungkapkan.
“Kalau misalnya nih, kita pacaran, kamu mau nggak?” kalimat itu terus-meneru mengiang di telinga Liz. Suara serak bass Joe seolah menyelimuti hatinya setiap detik. Dari lubuk hatinya terdalam, Liz mengakui karisma Joe begitu mengusik jiwanya. Kalau dipikir, banyak kesamaan antara dia dan Joe. Sama-sama berbintang virgo, anak bungsu, seiman, ini yang lebih penting. Joe memiliki jiwa pekerja ulung dan sangat bertanggungjawab pada perempuan. Sangat cocok menjadi pendampingnya kelak. Apalagi dengan warisan orang tuanya, Liz yakin Joe akan bisa menjadi ayah dari anak-anaknya, bisa menggantikan posisi ayahnya untuk menjadi direktur di salah satu anak perusahaan. Betapa indahnya dunia....
Liz terus terbuai angan-angan tentang Joe. Tak pernah capek setiap malam dia menulis huruf besar-besar di diarynya, Joe dan Liz. Joe Love Liz, Liz Love Joe, Joe & Liz in Love. Semuanya-lah tentang mereka. Ya ya ya.....dunia juga akan tersenyum menyambut sepasang kekasih terserasi, Joe dan Liz. Mama akan tersenyum tulus, senang punya menantu seperti Joe. Liz bahkan membayangkan berangkat dan pulang kantor selalu bersama dengan Joe, tak pernah sedetikpun ada yang bisa memisahkan mereka berdua.
***
Setelah itu belum ada kelanjutan cerita antara mereka berdua. Joe tak pernah memfollow-up lagi perasaan sesungguhnya ke Liz. Dan dari kejauhan, perempuan yang sebenarnya berkulit putih itu hanya bisa memandang Joe penuh harap. Sedangkan Joe, masih berkutat pada perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Antara meneruskan ‘nembak’ ataukah diam di tempat. Sampai cerita ini ditulis, konon memang belum ada deklarasi sepenuhnya bahwa mereka jadian. Ya ya ya.....biarlah hati masing-masing yang bicara. Hahaha.....*
Berulang Liz berpikir di kamarnya yang berantakan, di sana-sini banyak kertas dan buku berceceran. Menandakan, sang empunya kutu buku? Atau memang males saja sih hehe...Mengapa ya dia tidak punya satu saja sahabat yang bisa mengerti dan memahami semua hal yang berkecamuk di otaknya. Di kantor, tak ada satu orang dekat dengannya. Teman masa SMA, sekarang sudah pada sibuk dengan keluarganya, karena sudah menikah. Teman SMP? Jauhhh.....Perlahan Liz menulis semua keluh kesahnya pada diary lusuh di depannya. Masih pakai diary ya di jaman serba gadget canggih saat ini. Ya itulah Liz. Dan inilah curhatan Liz pada diarynya.
Ita bisa dikatakan salah satu sahabatku. Cewek berkulit putih, berambut cepak dan ramah ini adalah salah satu teman SMA yang masih bertahan hingga kini. Tetapi sayang, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, aktivitas di gereja, hingga kegiatan lain. Bisa ketemu sekali sebulan saja sudah untung. Problem Ita sama denganku. Belum punya kekasih yang bisa menjadi tempat bersandar ketika punya masalah. Tetapi dia lebih beruntung karena banyak cowok yang suka, tergantung dia mau pilih siapa. Tapi ya itu, Ita kadang keras, aku sering tidak klop dalam menuruti kemauannya. Suatu hari aku berselisih paham hanya karena beda pendapat soal memahami hidup (berat banget ya? ). Katanya aku terlalu sering mengeluh dan kurang sigap bertindak. Aku tersinggung saat itu. Kalau aku mengeluh ya karena aku memang capek. Sebagai salah seorang sahabat, wajar dong kalau aku curhat sama dia? Setelah peristiwa itu aku mendiamkannya.
Teman laki-laki yang dekat denganku adalah Rif. Dia selalu baik padaku, selain manis dan good looking tentunya. Sayangnya dia di luar kota. Dia berteman baik dengan salah satu laki-laki temannya, bernama Rud, sama baiknya dengan dia. Rud juga tampan. Ah, seandainya dia tidak punya pacar, aku mau menjadi kekasihnya. Rif tak pernah lelah menerima curhatanku. Meski berkali-kali dia mengkritik kalau aku terlalu lemah. Aku menerima kritikan itu sebagai ungkapan sayang seorang sahabat. Kadang Rif suka minta aku jemput kalau baru datang dari luar kota. Pernah sih mobilku mogok waktu mengantar dia. Lucu deh. Dan dia tidak pernah kapok naik sedan bututku. Rif sebenarnya sosok patner yang ideal untukku. Masa depannya cerah, bisa menerima aku apa adanya. Tapi masak sih aku mengorbankan persahabatanku dengan dia?
Perempuan lain yang bisa aku ajak ngobrol adalah Yul, mantan karyawan di kantor tempatku bekerja sekarang. Dia memang jarang bertemu dengan teman-teman kantorku yang lain, karena kesibukannya. Tetapi justru itu aku menjadi leluasa bertemu dengan dia. Saban hari aku chatting dan kadang menelepon untuk menceritakan kisahku hari itu. Kepada dialah aku paling bisa berterus terang. Bagaimana aku sangat mencintai Jo hingga saat ini, mungkin sampai kapanpun. Yul juga banyak membantuku untuk mencarikan sponsor ketika Yayasanku mengadakan kegiatan. Dia paling sabar menerima keluhanku, sehingga aku tak ragu untuk suatu saat menghadiahinya bingkisan kue, mentraktir makan siang...sampai tiket pesawat gratis. Tak apa, karena semua demi persahabatan. Karena Yul, paling bisa menerima aku apa adanya. Dari Yul juga aku tahu aktivitas teman-temanku yang lain seperti Riri, Andy, Agnes, Juan, Bud, Jack, dan lainnya. Aneh, mereka tidak pernah mengajakku turut serta. Biarlah. Aku memang berbeda dengan mereka yang suka boros, sok gaul tak jelas, buang-buang waktu. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan sendiri, mencari uang dan berpikir. Itu bisa aku lakukan di rumah. Memang sih mendengar cerita Yul, aku agak marah. Kok teman-teman tega sih tidak mengajakku? Tapi ya sudahlah. Biar mereka puas.
Teman lain yang pernah menjadi tempat curhatku adalah Juan. Dia tahu semua tentangku, hingga menyemangati hubungan cintaku dengan Jo. Tapi belakangan gadis berdarah Ambon ini mulai menjauhiku, entah mengapa. Awalnya dia memompa semangatku untuk selalu menunggu Jo, berdoa kepada Tuhan, supaya dibukakan hati Jo untuk segera melamarku. Dulu aku sering curhat ke Juan sewaktu Jo akan kembali lagi ke Semarang. Dia orang nomor satu yang memotivasi aku untuk selalu tak pantang menyerah menunggu cinta Jo. Ah, Juan terlalu keras. Dia menganggap aku cengeng dan terlalu banyak mengeluh. Lambat laun aku malas bergaul dengan dia. Apalagi semenjak kedatangan Riri. Juan seolah sudah tercerabut dari akar persahabatanku. Sudahlah, aku tak mau peduli. Toh masih ada Yul dan Rif.
Andi juga salah satu laki-laki yang akrab dengan aku. Dia sering ngobrol denganku ketika siang menjelang makan. Kami di ruangan bercerita tentang apapun. Mulai dari motor, bisnis, hingga dari hati ke hati. Menurutku, dia laki-laki yang baik, berselera tinggi dalam penampilan, kalem, dan menarik. Dalam hati aku menaruh harapan juga padanya. Tetapi tampaknya dia malu mengakui. Entahlah, aku melihat sesuatu yang beda di matanya. Andi juga membutuhkan perempuan yang bisa mengerti dia apa adanya. Dan aku sangat mengerti dia. Beberapa kali aku menyinggung dan memotivasi dia untuk mencari pacar, tapi jawabannya selalu ngambang. Ketika aku menggali kemungkinan aku bisa ‘jalan’ dengannya, laki-laki bertinggi lumayan dan kurus itu tak bergeming. Memang sih, mungkin dia merasa rendah diri padaku, meski aku tak mempersoalkan itu. Bagiku kesetiaan itu cukup. Aku menangkap itu di Andi. Pernah aku memancingnya dengan memberi surprise hadiah, ketika dia ulang tahun. Waktu itu sengaja aku membelikan kaos dengan gambar klub bola kesayangannya, Manchester United. Aku masukkan di tasnya. Sayang, dia tidak tahu kalau itu hadiah dari aku. Dan entah bagaimana, akhirnya toh dia tahu kalau kado istimewa itu dari aku. Andi khusus menemuiku siangnya dan mengucapkan terima kasih. Hatiku sejuk seperti tersiram air gunung. Ah, tapi dia tidak mengucapkan sesuatu yang lain. Kenapa dia tidak menanyakan sih alasan aku memberikan kado itu? Padahal aku ingin sampaikan kalau itu wujud perhatianku dengannya, hobbynya, segala tentangnya. Aku ingin berteriak saat itu, kalau aku sebenarnya..sebenarnya...mengharapkan dia. Ahhh, tenggorokanku tercekat. Mungkin aku harus diam-diam menjadi pengagum rahasinya? Terus kapan dia bisa tahu isi perasaanku sesungguhnya? Tuhannn.....!
Cukup deh pembaca. Nanti makin banyak tahu isi diary Liz bisa berabe, banyak yang akhirnya ngerti perasaan Liz sesungguhnya. So...cukup dulu ya? Hihi.....*
Quote cerita ini: Sahabat bisa menjadi kekasihku.
Gosip bahwa Ren telah menembak Liz merebak luar biasa di kantor. Emtah siapa yang menyebarkan, sehingga info itu begitu heboh. Saban hari ada saja tingkah Liz yang aneh-aneh. Mulai dari sering senyum sendiri, menjadi agak ramah dibanding biasanya, tiap siang refreshing dengan memutar lagu-lagu cinta. Ya, jelaslah sedikit banyak hal itu membuat satu langkah kemajuan bagi seorang Liz, lantaran semua sikapnya bertolak belakang dari sebelumnya.
“Lumayan ya mas, sekarang Mbak Liz sudah agak ramah. Kalau begini terus kan rada enak suasana kantor”. Komentar Mbak Tati, bagian keuangan yang tak pernah ambil pusing dengan kelakuan Liz, saking ‘empet’nya. Andy yang diajak ngomong hanya manggut-manggut mengiyakan.
“Aku juga merasakan dampaknya sih, Mbak. Jarang marah-marah kalau minta berita untuk liputan”. Bud menimpali.
“Apa sih yang menarik dari dia? Kok Ren bisa jatuh cinta ya?” Jack seolah berbicara dengan komputer di depannya. Bud, Tati dan Andy serempak menoleh. Mereka tidak menyangka Jack mendengarkan percakapan ketiganya.
“Lho....lha nggak tahu. Kenapa Jack? Kamu nggak pa pa kan?” Tanya Bud hati-hati. Jack kaget. Tampaknya gerutunya cukup keras, sehingga Bud mendengarnya.
“Eh iya, nggak pa pa kok. Sory aku tadi salah ngomong” Ralatnya buru-buru. Andy, Tati dan Bud berpandangan tanda mengerti. Uh la la...apakah Jack cemburu ya? Brrr....
***
Di ruangan musik, terlihat Juan dan Liz berbicara serius. Andy pura-pura main game supaya bisa mendengarkan leluasa obrolan dua perempuan teman kerjanya itu.
“Terus terang aku bingung. Aku harus menerima dia nggak ya?” pertanyaan Liz seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Ya ngapain bingung. Sudah jelas kan, dia nembak kamu? Apalagi kamu bilang, body oke, seiman. Apalagi sih yang kamu tunggu?”
“Iya sih. Tapi aku rada nggak nyambung kalau ngobrol. Aku juga takut. Jangan-jangan dia nembak aku, karena aku anak orang berada”. Juan merasa maklum.
“Ya kamu jangan berpikir gitu dong. Kamu lihat potensi dia. Kalau memang dia punya skill, ada niat baik, ya nggak seperti itu dong.”
Liz terlihat ragu-ragu. Matanya menerawang.
“Tapi saat ini ada laki-laki yang mendekati aku juga.’ Mata Juan terbelalak tak percaya. Andy sampai menghentikan permainannya sejenak.
“Siapa?”
“Namanya Ano. Aku kenal lewat chatting sih. Dia juga seiman, potensinya malah lebih baik dari pada Ren”.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Juan.
“Ya dari chatting”.
“Gantengan mana sama Ren?” cerocos Juan lagi.
“Ya...Ren. tapi secara level pendidikan Ren nggak sebanding dengan aku”. Juan akhirnya bisa maklum lagi.
“Ya sudah. Sekarang aku mau nanya sama kamu. Dari sekian laki-laki, siapa yang sudah pernah kamu kencanin, yang nelpon duluan?”
“Ren..”
“Siapa yang pernah bilang kamu cantik?’
“Ren..”
“Siapa yang nembak duluan?”
“Ren..”
“Hanya Ren kan?”
“Iya...”
“Sudah jelas jawabnya kok. Tapi terserah kamu deh. Kalau kamu nggak yakin ya nggak usah diterima, kalau yakin, ya terima. Titik.” Kata Juan tegas.
“Tapi..”
“No. Nggak ada tapi. Pembicaraan sudah selesai. Andy, minggir. Aku gantian main game.” Andy beringsut, karena tempat duduknya diambil alih Juan. Sementara itu Liz masih terlihat gamang.
“Ya lihat nantilah. Aku bingung. Milih Ren, atau Ano?” Itu kalimat terakhir Liz sebelum berlalu meninggalkan ruangan. Sesaat setelah berlalu Andy dan Juan saling berpandangan dan mengerenyitkan dahi.
“Ano nggak jelas aja kok diturutin. Maunya apa sih anak itu., sudah bagus ada yang mau jadiin dia pacar. Biasanya juga dia yang selalu nembak tapi gagal. Giliran ada orang yang bener suka, malah Ge-er. “ Juan ngomel tak keruan. Andy menghela nafas berat. Pikirannya teringat pada Ren, sepupunya yang benar suka sama Liz. Dia tahu betapa kecewanya kalau sampai mendengar apa yang disampaikan Liz. Tetapi diam-diam dalam hati dia berdoa agar Ren menemukan perempuan terbaik, lebih baik dari Liz, karena memang Ren adalah laki-laki yang sangat baik. But..nggak tahu ya, ini doa tulus, atau ada side effect, artinya....Andy biar tak pernah kehilangan Liz? Wuhuu....
***
Akhirnya memang benar, cinta Ren ditolak oleh Liz. Ren menceritakan itu kepada Juan melalui telepon.
“Alasannya apa?” Tanya perempuan berdarah Ambon itu penasaran.
“Ya katanya dia sudah memilih laki-laki bernama Ano. Dia sulit melupakannya. Ya sudah. Aku tak bisa maksa toh?” kata Ren. Juan mengerti. Ketika itu disampaikan kepada Rif, laki-laki bergelar Sarjana Komunikasi itu tertawa keras-keras.
“Ya ampun. Dia itu memberati seeorang yang nggak jelas ujung pangkalnya. Ano itu nggak jelas asal keluarganya. Dan sekarang pergi meninggalkan Liz dengan alasan yang tak jelas pula. Bahkan katanya dia sempat pinjam uang sekian juta rupiah untuk biaya perjalanan entah ke mana. Apa itu sih yang diberati? “
Juan mengangka pundak tanda tak tahu. Andy mengepulkan asap rokoknya perlahan. Jadi seperti itu to ceritanya. Ya ya, mungkin Ren memang belum beruntung bisa memilikinya. Tetapi Ren pasti lebih beruntung dengan tidak memilikinya. Bagaimana mungkin dia bersaudaraan dengan Liz? Yang pernah memberinya hadiah diam-diam sebagai tanda cinta?
Nah, kalau yang ini nggak tahu tuh. Apakah Andy tidak rela karena tak sanggup menyaksikan kebahagian Liz bersanding dengan pria lain? Ataukah masih ada harapan bagi Andy untuk bisa merebut hati Liz? Meski harus berkompetisi dengan Jack dan Bud? *
Bukannya sok gaul.
Tapi puas banget untuk ngungkapin sesuatu, yang bisa jadi kita sudah empet, dan tidak ada kata lain yang bisa mewakilinya. Contoh sederhana adalah ketika kita sudah tidak dipercaya, sementara usaha yang sudah kita lakukan sangat maksimal. Parahnya lagi adalah, kalau itu dijadikan kambing hitam untuk melegalkan kemauan seseorang, hanya seseorang.
But guys, Let's enjoy this world...
Dunia nggak hanya berhenti dari hal seperti itu. SO, yang perlu dilakuin adalah..the show must go on. Sia-sia banget kalau merhatiin sesuatu yang hanya jadi kendala kecil. Nggak penting. Toh itu hanya dari seorang. Banyak yang lebih bisa menghargai kinerja kok.
Senyum terindah di hari ini...:-)
Pada awalnya cerita ini dimulai dari sebuah percakapan, antara Andy, Aming dan Rif di suatu sore selepas jam kantor.
“Ada ide nggak nih buat nyelesain masalah Liz?” Aming membuka obrolan.
“Maksud kamu?” Andy bertanya sambil menghisap batang rokoknya.
“Kita semua pada tahu dong, kasihan dia kalau lama nggak punya pacar. Ujungnya kita juga yang repot. Kita jodohin aja gimana?”
Rif menjentikkan kedua jarinya tanda setuju.
“Bener banget. Tapi......pertanyaan kemudian adalah, dengan siapa? Joe? Jack? Robert? Atau salah satu di antara kita? Aku nyerah deh. Bukannya dia cinta mati sama Joe?”
Andy menggaruk-garuk jidatnya berpikir keras. Seolah ada ide briliant, sesaat kemudian matanya berbinar cerah.
“Aku ada calon nih.” Aming terperangah setengah tak percaya.
“Siapa?” tanyanya setengah menyelidik dan berdoa dalam hati, semoga laki-laki itu bukan dia. Andy tersenyum simpul.
“Ren...”
“Siapa dia? Laki-laki kan? Tulen kan?” Rif seperti biasa, sok detail.
“Ya iyalah, tinggi besar, kulit putih bersih. Dia masih ada hubungan saudara dengan aku. Kemarin aku baru ngobrol sama dia, curhat sih minta dicariin cewek”.
Dahi Rif berkerenyit.
“Emang dia mau sama Liz?” Andy membuka kedua telapak tangannya memberi isyarat tidak tahu.
“Oke, coba saja kamu kenalin. Siapa tahu jodoh. Bung, tugas kamu bilang sama Liz”. Aming berlaku dewasa kali ini. Singkat cerita, sepulang kantor Andy dan Rif menunaikan tugasnya dengan....sempurnaaaa (lagu lagi nih).
***
Dua hari kemudian terjadi cerita heboh yang menghentakkan dunia laki-laki radio swasta berjaringan di kawasan Candi itu. Baru kali ini sepertinya, naga-naganya, kayaknya, penerawangannya, alhasil...alah.....usaha Rif, Aming dan Andy menuai hasil. Cerita itu berkembang sedemikan cepat karena saking mengejutkannya. Riri yang ada di Jakarta pun sempat tak percaya akan hal ini.
“Apa? Ren bilang Liz cantik? Andy, suruh saudaramu itu memeriksakan matanya sehabis kantor”. Begitu komentarnya.
“Alamakkkk......akhirnya Liz mendapat arjunanya. Padahal usahaku meminta dia rebonding belum menampakkan hasil. Uh la la.....” ini komentar Agnes.
“Aku ya heran. Apa kriteria cantik menurut pandangan lak-laki di luar kita sudah berubah ya, sampai ada yang bilang Liz cantik. Oh My God” Rif turut andil bicara.
Sementara Aming cekikikan nggak jelas sedari pagi sampai siang sampai sore harinya, sampai besoknya, dua hari nggak berhenti sama sekali. Gokil!
“Oh gitu? Syukurlah.....tapi? Eh ya...sudahlah” Joe hanya singkat berkata. Tak tahu artinya, entah kecewa, bersyukur tapi tak rela, atau patah hateeee??? Hihihi....
“Wah alhamdulillah...akhirnyaaaa....aku lepas dari dunia keluhan. Oughhh...terima kasih Andy, Ren, Aming...kalian membawa laki-laki tepat untuknya” Yulie tak segan sujud syukur mendengar berita bahagia ini, seolah terlepas dari beban yang amat sangat. Maklum, Liz sering mempercayakan segala keluh kesahnya pada perempuan yang suka laki-laki lebih tua ini. Huu....
Intinya adalah, Ren suka Liz pada pandangan pertama. Setelah bertelepon, Ren ke rumah Liz untuk mencoba mengenalnya lebih dekat. Sepulang dari sana dia langsung menemui Andy dan bilang respek dengan Liz, berniat ingin menjalin hubungan lebih serius. Sama sekali tak percaya, semalaman Andy terjaga dari tidur, masih jelas terngiang kata-kata Ren di telinganya.
“Liz cantik.....Liz cantik....cantik...cantik...tik...tik...tik...” Kembali Andy menutupi mukanya dengan bantal kuat-kuat. Entah cemburu, tak percaya, atau ungkapan Ren adalah mewakili ungkapan hati terdalamnya yang tak tersampaikan?
***
Ramalan teman-teman kemudian adalah, Liz TENTU SAJA akan menerima Ren dengan tangan dan kaki terbuka. Tetapi TENTUNYA nggak seru dong, karena itu artinya cerita akan berubah menjadi manis, datar, dan seperti cerita cinta biasa. Fuihh......! Akhirnya untuk menepis asumsi yang tak jelas itu, Rif berinisiatif mengorek perasaan sejati Liz. Mereka ngobrol di De Lekker, restoran sederhana di sekitar kantor.
“Gimana kencanmu? Sukses kan?” Tanya Rif perlahan. Gadis di depannya tersenyum malu-malu. Rif bergidik. Imajinya membayangkan, saat itu di atas kepala Liz muncul berpuluh-puluh lambang hati berwarna merah.
“Kok malah senyum-senyum? Kamu suka ya?” Desak laki-laki yang menghabiskan masa kuliahnya di Kota Gudeg itu.
“Ehm...gimana ya? Ya dia cakep. Good looking. Katanya sih aku cantik..” Liz mempermainkan dua ujung jemarinya tersipu. Kepala Rif berkunang-kunang mendadak. Sebel banget dia dengan gaya Liz yang sok imut begitu.
“Trus jadinya gimana? Udah nyatain belum?” sergapnya nggak sabaran. Gadis di depannya yang sore itu mengenakan kemeja gombrong pink, celana baggy dan sepatu kets belum bergeming. Masih tersenyum-senyum. Rif maklum. Selang beberapa menit kemudian...
“Ya belum. Tapi dari gelagatnya sih, kayaknya dia suka aku” desis Liz yang melecut degup jantung Rif berdetak lebih kencang dari biasanya.
“Kok kamu ngerasa gitu? GR kali kamu?”
“Enggaklah. Aku bisa merasakannya kok. Kayak ketika Joe nyatain cinta sama aku dulu.” Blarrr! Rif seperti disambar geledek. Ternyata Liz bener masih terkenang sama Joe. Walah...!
***
Ren kembali bertemu dengan Liz beberapa kali. Kesimpulannya tetap sama; blind love is true, true love is blind, love is love, blind is blind? Ya ya ya....something like that-lah. Ternyata memang dia mencintai Liz, tetap bersikukuh bahwa Liz cantik, dan nekat memacarinya. Tahu dong, kalau cewek nggak pernah ditembak cowok, apalagi cowok itu ganteng, mempesona, seiman, bisa mendapatkan cewek di atas dia, 80% akan diterima dengan hati terbuka. Tetapi bukan Liz namanya kalau nggak bikin sesuatu yang aneh. So, jelaslah..cinta putih Ren ditolak, digantung, membuat laki-laki itu tak berdaya. Tetapi Ren tak patah semangat, masih menunggu cinta gadis itu. Penolakan dan sikap menggantung ini juga menghebohkan khalayak laki-laki di kantornya. Akankah penantian Ren berujung bahagia? Tunggu cerita selanjutnya yaaa...
Hot gosip this weekend adalah.....love is love, blind is blind. Halah!*
Bisa jadi karena memang ada yang menyakiti.
Atau lebih asik lagi kita mengatasinya dengan mengubah sudut pandang kita,
dalam menghadapinya.
Anggap saja tak ada yang bisa menyakiti,
karena diri ini layak bahagia,
mendapatkan lebih dari sekedar kesenangan,
tetapi kebahagiaan yang dalam.
So, hayuk tetapkan pilihan untuk selalu bahagia
sejak saat ini....
Cheers:-)
Bizarre Love Triangle
(Antara Jack, Liz, dan Bud........sumpah ini fiktif!)
Pelaku: Jack, Liz, Bud, Andi.
Cerita ini bermula dari kedatangan orang baru berwajah lama di kantor Jack. Bud namanya. Laki-laki ini dulu bekerja di kantor yang sama dengan tempat Jack bernaung sekarang, tetapi karena sesuatu dan lain hal, dia terpaksa ke luar karena harus pindah ke Denpasar. Setelah sekitar dua tahun, ternyata Bud lebih suka tinggal di Semarang yang panas ini. Karena itulah, beberapa bulan ini dia kembali bekerja di kantor redaksi sebuah stasiun radio swasta berjaringan di Lumpia City, sekantor dengan Jack.
Awalnya sih Jack tidak pernah berburuk sangka terhadap Bud. Hubungan mereka seperti layaknya satu team yang berjibaku mencari berita sebaik dan sebanyak mungkin untuk memuaskan boss. Atau lebih tepatnya Liz, sang koordinator yang diam-diam menjalin cinta dengan Jack. Karena Bud sudah menikah, tidak ada alasan Jack untuk sekedar mencemburuinya hanya untuk mengetes kadar kecintaan Liz kepadanya.
Tetapi ada yang aneh, ketika perempuan yang awalnya sama sekali tidak dicintainya itu menunjukkan perilaku ‘aneh’. Ya ya.....ceweknya itu agak cuek dan tidak seperhatian dari sebelumnya. Pagi-pagi tak ada sapaan hello dear dan sms mesra darinya. Ada apa gerangan?
Jack secara tak sengaja menemukan keganjilan itu ketika membuka peralatan editing di komputer ruangannya. Di layar terpampang gelombang hasil rekaman ketika Bud reportase. Nalurinya berkata dia harus memencet tombol play. Seperti biasa, Liz menyapa Bud dengan suara pelan tak bersemangat untuk meminta Bud melakukan tugas. Setelah selesai, terdengar suara tawa ‘renyah’ dari Bud yang disambut dengan kata-kata tak biasa dari Liz.
“Ya sudah, met tugas lagi ya. Ttdj....makasih bunganya” Suara Liz yang pelan serasa petir di siang bolong. Jack seperti tertampar seribu kali. Belum selesai panas hatinya, terdengar suara Bud menjawab.
“Ok. Kamu jangan lupa makan ya. Bye” Blarr!! Darah Jack naik ke ubun-ubun. Seumur-umur baru kali ini dia merasa dikhianati. Keringat dingin menetes di tengkuk. Tangannya mengepal. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ingin rasanya saat itu juga merobek-robek komputer di depannya (Tukul kaleee...).
“Hai bro.....makan yuk” Suara dan tepukan Andi dari belakang mengagetkan Jack hingga mukanya pias.
“Hah? Kamu sakit bro?”
“Eh enggak kok. Sori aku sudah makan tadi. Lagian aku masih ada kerjaan. Kamu makan sendiri saja ya?”
Andi mengacungkan jempolnya tanda setuju.
***
Di kamar kosnya Jack gelisah tak tentu. Matanya nanar memandang langit-langit. Hatinya geram tiada tara (busett.....puitis banget). Dia ingat masa awal jadian dengan perempuan berambut ombak panjang itu di Black Canyon. Kenapa aku bisa menerima cintanya ya? Bagaimana mungkin aku bisa mencintainya? Apa sih yang menarik dari dia? Nggak ada. Tapi kok aku bisa jadian? Oughh.....tidakkk! Jack mengibaskan kepalanya kuat-kuat. Tapi ini bukan mimpi. Ini beneran. Trus kalau beneran, kenapa aku cemburu dengan Bud? Bisa-bisanya Liz mengkhianatiku? Apa sih istimewanya dia? Argghhhhhhh! Jack tak kuasa meneruskan bayangannya. Ya ya ya....aku bisa menerima dia karena selama ini aku selalu membayangkan bahwa Liz adalah perempuan mendekati sempurna. Berkulit putih bersih, berambut lurus, lincah, charming, tidak gendut, fashionable, bersuara merdu, good looking, segala yang berbalikan dari realitas. Itulah sebabnya dia bisa menerima Liz. Tapi setelah pengkhianatan ini? Darahnya kembali mendidih.
***
Andi manggut-manggut mendengar pengakuan Jack. Dia tak menyangka sahabatnya itu cemburu mengetahui rekaman suara mesra Bud kepada perempuan yang baru satu minggu dipacarinya itu.
“Kamu salah paham, bro. Bud sih pernah cerita ke aku, kalau itu hanya trik saja, biar Liz nggak cemberut gitu. You know-lah, di lapangan kan kerjaan berat. Jadi Bud cuman mancing biar ada dikit seger-seger gitu”.
“Mancing apaan? Serius....mesra gitu. Kamu tahu dong, Liz kan GR-an orangnya. Bisa-bisa Bud dikira naksir. Amit-amit.”
Andi angkat tangan. Hatinya maklum,tampaknya laki-laki bukan perokok yang sangat memperhatikan jam tidurnya itu benar-benar terbakar api cemburu. Akhirnya dia memutuskan untuk mengklarifikasinya ke Bud, supaya semua gamblang.
Alhasil, Andi menyampaikan semuanya kepada Bud. Dan Bud tersenyum simpul. Dia menyampaikan maksudnya untuk berbicara empat mata dengan pacar Liz malam harinya di kantor, selepas mengerjakan tugas. Malam itu Andi hanya memantau pertemuan keduanya dari ruang tengah, sekedar jaga-jaga kalau terjadi pertumpahan darah atau sesuatu yang tidak diinginkan.
***
“Aku tahu kamu lagi kesel, Jack. Biarkan aku jujur,ok?” Bud mengawali pembicaraan. Jack tertunduk tak bergeming.
“Aku tidak bermaksud menyakiti siapapun. Aku sendiri heran dengan pacarmu itu, yang tiba-tiba berlaku mesra sama aku. Tiap pagi dan malam dia selalu mengirimi sms yang isinya memperhatikan kesehatanku, makanku, dan lainnya. Dia juga menyinggung-nyinggung tentang keberadaan istriku di Denpasar. Apa maksudnya? Aku tak tahu. Sampai kemudian dia memberiku kue sebelum berangkat liputan. Jack, aku tak tahu maksudnya apa?” Nada Bud merendah. Gigi Jack gemeletuk menahan amarah. Apa sih maksud Liz?
“Trus kenapa kamu memberinya bunga?” Suara Jack berat, menahan emosi.
“Ya ampun...itu bunga waktu ada aksi damai dari KPI. Bunga yang ditempel di flyer untuk aksi damai di hari perempuan. Ya itu aku taruh saja di meja. Mana aku tahu kalau ternyata yang ngambil dia. Malah awalnya aku mau kasih itu ke Mbak Tati. Aku juga baru tahu siang itu kalau yang nerima dia. Alamak....Jack, aku tak akan pernah mengganggu kalian. Percayalah.” Bud menepuk pundak Jack hangat. Dia bersyukur rekan setimnya ini percaya dengan penjelasannya.
***
Apakah masalah sudah selesai? Ternyata kadar cinta Jack ke Liz memang sedang diuji. Reda satu masalah, muncul masalah lain. Sehabis liputan lagi-lagi laki-laki asal Purwokerto ini mendapati hal aneh. Di bloknote Liz tertulis (tulisannya Liz) untaian puisi yang membuat hatinya terbakar kar kar......
“Seandainya waktu bisa berputar arah, aku akan memilihmu. Kau begitu dewasa, bisa menjadi sandaranku. Tetapi sayang, waktu berlalu begitu cepat. Biarkan aku mencintaimu tanpa memilikimu. Aku cukup bahagia memandangmu tiap hari, mengasihimu. Biarkan aku, Bud. With love, Liz”
“Kampretttttt.....!” Jack geram dengan sendirinya. Bergegas dia meninggalkan kantor untuk kembali ke kos. Tiba-tiba mata hatinya seperti terbuka.
“Bagaimana mungkin aku bisa mencintainya? Enggaklah, enggak..!! ini lagi-lagi mimpi. Dan aku yakin, aku tak akan bisa diperdayainya. Tidakkkk.....ini mimpi, mimpi....!” Jack berteriak sepanjang jalan.
But Guys....apakah cerita yang kedua ini benar-benar mimpi Jack? Ayolah Jack....kamu bersuara. Juga Bud, apa benar kamu tak pernah memberinya bunga? Ngaku...!Hahaha....peace
Jelang hari Kartini...
Kalau hari gini masih ada yang ngeribetin masalah gender, sepertinya aneh. Memang sih sudut pandangnya bisa macem-macem kalau ngomongin masalah satu ini. Tapi mari kita berpikir 'nyaman dan tidak nyaman' saja. Selama ini --disadari atau tidak-- beberapa orang terjebak dengan stereotype bahwa perempuan biasanya nyetir lamban, ngaco, bla bla...Perempuan pasti ngatasin masalah dengan teriak, nangis, merajuk. Eleuhh....hayo ngaku, siapa laki-laki yang nggak pernah ngelakuin itu semua? Sama kannn?
So....semua itu tidak terpaku pada subjek, laki or perempuan, tapi sikapnya itu lho. Siapapun dia, laki-laki or perempuan kalau nyetirnya ngaco ya yang dilihat adalah cara nyetirnya, bukan 'siapa'nya. Iya dong?
Selamat hari Kartini ya:-)
Ada yang bilang cemburu buta. Itu kalau kita nggak jelas cemburunya ditujuin sama siapa, atau dengan apa? Karena pernah sih ada 'teman' yang cemburu, gara-gara pacarnya pulang-pulang naik motor, di setirnya nangkring dua helm. Udah suuzon tuh dikirain boncengin cewek yang ngebet sama dia. Kok bisaaa??
Ada juga yang bener jealous karena bener sayang sama pasangannya. Contohnya, kalau pasangannya 'nakal', tepe-tepe sama 'pere' laen. Emang sih setelah dikonfirmasi katanya iseng, ga serius. Tapi?? Maen api bisa kebakar kaleee.....
Ada juga yang ga pernah jealous. Nah ini alasannya juga macem-macem. Katanya sih karena sudah saling percaya. Tapi ada juga yang emang nggak cemburuan. Walah...gimana rasanya ya? Masak sih, kalau pasangannya ngelirik perempuan lain, nggak jealous? hmm.....
Seberapa sih kadar cemburu yang dibolehin? Kamu pernah merasakannya?
Aihhh.......lagi romanits ya? Hehe...
Liverpool always on my mind
Laga dini hari yang menegangkan dan seru.
Memang sih akhirnya my team kalah.
Liverpool menjebol gawang The Blues dengan 4 goal,
tapi pertandingan mati-hidup patut mendapat acungan jempol.
Baiklah, The Reds akan berusaha lagu untuk tahun depan.
Tetap dukung Liverpool!
Hari ini campur baur dalam suasana pemilu 2009.
Apapun dan siapapun yang dipilih, atau ada yang tidak memilih,
semoga membawa perubahan buat Indonesiaku terkasih.
peace...
Itu tidak harus tergantung sama orang lain, kecuali hanya diri sendiri.Memang sih awalnya akan sulit, tetapi kalau dilatih lama-lama sudah terbiasa. Bahwa kebahagiaan kita tidak tergantung oleh teman, perusahaan, siapapun, apapun.
Bahagia tergantung dari cara pandang kita menghadapi sesuatu. Apabila BAHAGIA adalah keputusan yang sudah kita ambil, ya resikonya adalah memang hanya BAHAGIA. Begitu juga sebaliknya.
So, sudah siap memutuskan untuk apa hari ini? Hehe...
Saya baca lagi The Secret tuh semalem. Jadi geli sendiri, karena apa yang ditulis di situ, memang bener, bener banget. Makanya kadang saya berpikir, apa sih susahnya tersenyum kepada siapapun, tanpa tendensi, kecuali hanya ingin ramah dan balik mendapat senyum di hari itu? Atau sedari bangun tidur, kita tersenyum mendapati hari, terima kasih diberi kesempatan menikmati dunia lagi, hari ini.
Tapi ternyata tidak semua orang bisa melakukannya. Bahkan ada yang membawa emosi dirinya ke orang lain. Ujungnya, kita yang hafal dengan kebiasannya jadi merasa aneh, dan memakluminya. Maklum karena tidak mudah mengendalikan marah, kebingungan, frustasi, cemburu, merasa miskin, terbelit utang, dan masih banyak lagi yang lain. meski sebenarnya, kalau kita mau berusaha berpikir jernih, itu bisa kita balikin.
Bahwa semua akan baik-baik saja, dan membahagiakan:-)
Pelaku: Andy, Juan, Liz (dia lagi-dia lagi....huuuu), Yuli, Agnes, Asri, Riri, Jo, Advi, Robert, Jack, Khrisna, Indra, Erna.
Hari ini adalah hari ulang tahun Andy. Laki-laki berkepala pelontos itu tak membayangkan hal aneh akan terjadi pada hari istimewanya itu, karena seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti akan sama kejadiannya. Toh kalaupun ada perubahan, paling perubahan kecil dan tak begitu berarti. Pagi hari dengan semangat ceria menyambut matahari dia berangkat dengan suka citanya ke kantor untuk menunaikan tugas seperti biasa. Perlahan ditaruhlah tas ransel hitamnya di dekat almari depan News Room. Sambil bernyanyi riang Andy berkeliling untuk membuat ruangan menjadi bersih bersinar...alah. Begitu selesai laki-laki yang menyukai band Maroon Five itu langsung akan ke luar kantor untuk membayar keperluan lainnya. Ketika akan memasukkan uang ke dompet, matanya membelalak melihat ada bungkusan koran di dalam ranselnya.
“Apaan nih? Ah pasti kado dari Juan” begitu pikirnya. Dia lantas menuju ruang belakang menemui Juan.
“Juan, nih ada bungkusan di dalam tasku dari kamu ya?”
“Bungkusan paan? Enggak tuh. Oh ya kamu ulang tahun ya? Selamat ya....” Juan mencium pipi kiri dan kanan Andy yang masih bengong memikirkan asal-muasal bungkusan itu.
“Trus ini dari mana? Punya siapa?”
“Coba buka deh” Usul Juan. Pelan-pelan Andy membuka bungkusan itu. Alamak! T-shirt berwarna hitam. Juan paham akhirnya.
“Sudah deh, itu mungkin hadiah ulangtahun buat kamu. Bikin deg-degan saja sih. Kirain bom. Terima saja, atau simpan. Paling kalau ada yang punya bakal teriak-teriak nyari” Kata gadis Ambon yang terkenal dengan pantat besarnya itu.
Akhirnya Andy tak mau berpikir panjang dan kembali memasukkan bungkusan itu kemudian menyalakan mesin motornya.
***
“Juan...Asri ngajakin kita kumpul nih. Ntar ketemu di studio after hour ya. Tolong hubungi Yuli” Suara Riri di ujung telepon.
“Oke deh” Gadis Ambon manggut-manggut dan menelepon Yuli untuk kencan ketemu di studio sore hari.
Memang sih nggak ada rencana spesial. Hari itu kebetulan Asri baru datang dari tugas besarnya di Aceh dan akan segera pergi meneruskan S2 ke Amrik. Rencananya sore itu kami akan ke rumah Agnes karena mendapat kabar dia sedang pendarahan. Dan memang akhirnya Riri, Yuli, Juan, dan Asri berangkat ke rumah Agnes dari studio jam 5 sore.
Sampailah di rumah Agnes. Dan you knowlah kalau pere-pere pada ngumpul, yang diomongin nggak jauh-jauh dari seputar body, baju, gincu, dan.....gosiplah haiy. Dan gosip terhangat sore itu dimulai dari obrolan Yuli.
“Tadi pagi udah pada dapet keluhan belom?” Yang dimaksud keluhan ini adalah curhatan dari Liz, yang nggak pernah ada positifnya. Naga-naganya keluhan selalu bermuara pada uang, uang, lanang, lanang hahahaha......Serentak kami menjawab;
“Enggak tuuuhhhhhh...”
“Tau deh, tadi di bulbo Friendster kok dia nulis sesuatu yang aneh. Katanya nih, dia ngasih kado ultah buat someone, tapi bete, karena someone itu nggak tahu kalau doi yang ngado”Cerita Yuli.
“Whatttt???” Juan hampir terlompat dari tempat duduknya. Bola matanya memutar geli geli surprise gimana gitu.
“Kenapa sihhh? Ada yang aneh?” Tanya Riri.
“Astaga....jadi....jadi.....hahahaha....”Juan tergelak tak terkendali. Kami berempat saling pandang tak tahu.
“Kenapa sih Juan?” Asri want to know. Dengan masih berkaca-kaca manahan ketawa Juan cerita soal kaos tadi. Setelah mendengar ceritanya, kontan kami berempat ngakak tiada tara.
“Ya ampyunnn......segitunya ya Liz menaruh simpati ke Andy?” Agnes tersenyum geli.
“Yang aneh kan yang ngasih kado, kalau mau dikenal ya tulis nama kek. Kalau nggak mau nulis nama ya kasih saja sendiri” Riri mengkritik.
“Alah alah......jadi itu to maksud buletinnya” Yuli lega.
***
Andy kaget mendapati Juan pagi-pagi sudah menyambutnya dengan senyum mencurigakan.
“Ada apa sih kok senyum-senyum?” Tanyanya.
Juan tak menjawab dan terus membuntuti langkah Andy sambil tak melepas senyum dari bibirnya.
“Ada apa sih?” Tanyanya kesal. Gadis Ambon berambut merah menyala ini masih saja enggan mengatakan sesuatu. Andy makin heran dan nekad tak mengacuhkannya. Akhirnya Juan ketawa lepas. Andy makin merasa ada yang tidak beres.
“Tahu nggak sihhh...ternyata dia ada hati bo sama kamu...”
“Maksud lo?” Andy curiga.
“Kaos itu ternyata...ternyata spesial kado dari perawan berambut panjang berombak di dekat almari kamu. Hahahha...” Juan tergelak puas. Kemudian diceritakanlah hasil gosip kemarin sorenya. Andy hanya geleng-geleng kepala mendengarnya.
“Pasti ini gara-gara Jo mengabaikan cintanya. Kok aku yang jadi sasaran sih? Huh!” Gerutunya geram. Juan masih ketawa tak berhenti. Dan tampaknya cerita itu sudah tersebar luas sampai ke Trijaya Network, termasuk Pangeran Cinta Liz, Jo yang berlokasi di Jakarta. Sontak dong, doi menelepon Andy.
“Heh.....gimana tuh perasaannya mendapat kaos cinta dari perawan?” Tanya Jo dengan nada mengejek. Darah Andy mendidih.
“Pasti gara-gara kamu kan? Lagi berantem, Jo? Bilang dong kalau berantem. Malah aku yang jadi sasaran!” Andy bernada marah. Jo bergidik juga, nggak biasanya Andy si cool-man ini bisa marah segini hebat.
“Kok nyalahin gue?” Tanya Jo.
“Ya iyalah. Dari beberapa hari ini dia curhat ke aku. Katanya kamu kadang memberi hati sama dia, tapi kemudian menghempaskannya begitu telak. Kok kamu tega sih mempermainkan cintanya? Dia tuh cinta mati sama kamu, Jo” Tutur Andy.
“Yaelahhhh.....elu tahu dong, Ndy....gue nggak cinta sama dia” Elak Jo.
“Ya tapi itu masalah kalian. Udah deh, nggak usah bawa-bawa teman. Kalian jadian aja”
“Idih ogah amat” tandas Jo sambil menutup telepon.
Btw, kok Andy bisa galak gitu sih? Ah itu mah bisa-bisanya penulis saja. Biar kelihatan ada nuansanya, nggak true story banget gituh hahaha...
***
Malam harinya Andy gelisah tak karuan di dalam kamar.
“Ahhh...pasti gara-gara kaos aneh itu” Gumamnya kesal.
Dibukanya kembali bungkusan koran (baca=kado) itu. Matanya nanar memandang kaos hitam bergambar pemandangan dan alam itu. Mengelebat bayangan Liz, perempuan yang paling sulit tersenyum di kantornya. Sampai hari itu Andy tak pernah tahu apa yang mendasari Liz tak punya pacar. Melihat tongkrongannya saja sudah membuat para lelaki illfeel. Bagaimana tidak? Di jaman tanktop kayak gini, Liz masih bercelana baggy, kemeja laki, dan rambut anti bonding. Belum lagi hal itu ditunjang dengan bodynya yang superwonder-lah untuk women. Belum lagi nggak pernah berparfum, anti high heel, sekali bergincu malah berlepotan nggak keruan. Alamakkk! Help!
Coba ya Liz itu berambut ala Beyonce, nggak usah langsing amat no problem, tapi stylish gitu. Secara nih doi kulitnya lumayan putih, agak bergaya sedikit, wangi, murah senyum. Bisa jadi Jo ataupun Andy, Jack, Advi, Robert.......bakal mau menjadi suaminya. Khrisna dan Indra kali bakal tepe-tepe juga, secara Mbak Emil dan Erna di rumah kaleeee. Harap diketahui ya, Liz memang cinta mati sama Jo, laki-laki mantan marketing di kantornya yang sudah hengkang ke Jakarta itu. Semua Network juga tahu kalau hanya Jo yang bisa meluluhkan hati si Baggy-gurl itu. Tapi????
Dan sekarang dia memberi harapan pada Andy. Salah apa sih? Memang sih memang, cinta tak pernah salah. Tapi Liz yang salah. Wakakakak......takut bermimpi buruk seperti Jack, Andy melempar kaos hitam itu kuat-kuat ke dinding. Badannya meringkuk di kasur. Matanya ditutup bantal dan berkompromi dengan Tuhan, menghiba supaya malam ini tidak dikasih mimpi tentang Liz. Amien.
Apakah Andy malam itu mimpi tentang Liz? Tanya saja sendereeeee..........(end*).
Kecenderungan manusia seperti itu ya, baik dalam hal positif maupun negatif.
Termasuk selalu mencari kejelekan orang lain. Kenapa sih sulit banget mengakui kesalahan diri sendiri? Ibaratnya telunjuk menuding ke depan, tetapi empat jari lain menunjuk diri sendiri.
Mungkin perlu dicoba, meski berat rasanya. Karena lebih mudah mencerca kesalahan orang lain kan? Dari pada mengakui diri sendiri salah. Akibatnya memang orang lain yang menjadi korban. Untunglah ada yang bisa maklum dan memahami hal seperti ini.
Begitu sudah usai musin hujan...
Mulai deh, Semarang tampak aslinya, panas, panas, dan panas.
Ya begitulah. Sekarang musim jadi susah ditebak. Berangkat pagi-pagi ke tempat kerja, panas. Eh, sorenya hujan nggak mau kompromi. Hehehe..
Apapun itu, saya tetap menikmatinya kok.
Panas hujan tergantung hatinya.
Cheers!
Maksud hati ingin membayar kartu kredit di ATM Bank Mandiri, Jl Pahlawan Semarang. Nggak tau ngantuk atau bagaimana, pas mau parkir, meleset. Jatuh deh tuh motor berikut orangnya, alias saya hehehe....
Alhamdulillah Bapak Satpam dan Mas-Mas yang mau parkir sigap membantu. AKhirnya tidak sempat terjadi sesuatu yang membahayakan. Meskipun...spion lepas dari tempatnya, dan kaca berhasil melarikan diri sementara dari cover spionnya hehe...
Ting tong. Bunyi short message dari ponsel Jack nyala. Dibacanya satu pesan dari Liz.
“Ketemu di Black Canyon ya, jam 7. Ada yang penting aku bicarakan, menyangkut kerjasama program Yayasanku dan Komunitasmu”.
Jack merasa ada sesuatu dari kata-kata dalam sms itu. Memang sih, dia pernah berangan-angan bisa bikin kerjasama kegiatan dengan Yayasan yang dibentuk Liz dan teman-temannya. Tapi nggak biasanya Liz mengajak bertemu malam-malam, di tempat yang nggak biasa pula. Dibalaslah sms itu, “Apa harus di Black Canyon? Kalau di studio saja gimana?”
Liz langsung mereply smsnya, ”Aku nggak mau ngomongin masalah luar kantor, di kantor. Aku tunggu. Makasih”.
Ya sudah, akhirnya Jack menepati untuk ketemu Liz di tempat itu. Dari pembicaran berdua disepakati beberapa program ke depan yang bisa dikerjakan bersama. Menjelang akhir pembicaraan, Liz menyentuh jarinya. Jack terperangah dan menahan nafas sesaat.
“Jack, aku ingin kerjasama ini tidak hanya dalam tingkatan profesionalitas saja”
“Emm...maksudnya?” Suara Jack bergetar, perasaannya campur aduk tak tentu, antara marah, kaget, nggak suka, gugup, nggak jelas.
Liz menghela nafas perlahan. Matanya menatap mata Jack dalam yang membuat laki-laki di depannya kikuk, salah tingkah luar biasa.
“Aku tahu kamu semenjak kuliah. Kita sama-sama tahu. Kenapa dari awal aku memutuskan menerima bekerjasama di kantor dalam satu tim dengan kamu, adalah karena ada potensi besar dari diri kamu.”
“Ok. Thanks” Desis Jack hampir tak terdengar. Jemari Liz masih menyentuhnya.
“Sori aku harus mengatakannya, Jack. Aku berharap kamu bisa menjadi orang terdekatku, yang mendukungku dalam segala hal. Termasuk...” Suara Liz tertahan. Matanya tak berani lagi menatap mata Jack yang sudah tidak sabar menunggu lanjutan kata-katanya.
“Termasuk?” tanya Jack menyelidik.
“Dalam hal pribadi.”
“Dalam hal pribadi?” Jack memborbardir.
“Iya. Aku suka sama kamu. Aku ingin kamu jadi pacarku” Glek. Tenggorokan Jack seperti tersumbat bongkahan batu segedhe gajah. Dia tak bisa berkata-kata. Sorot mata Liz memelas di depannya.
“Kenapa Jack? Ada yang salah?”
Pandangan mata Jack melayang. Cairan di otaknya seperti menggenangi hampir separuh kepalanya. Tiba-tiba kepalanya berkunang-kunang, pikirannya terbang tak jelas. Seolah sudah dirancang sebelumnya, dari Black Canyon mengalun musik romantis Daniel Sahuleka...You Make My World so Colourfull Like......oughh itu kan lagu favorit Jack yang disukai Liz juga saat ini. Dan kenapa Liz merequestnya untuk malam ini, yang berarti itu semacam proklamasi hari jadi yang dilegitimasi oleh perempuan itu? My Godness...Jack tak bisa berkata apapun. Jemarinya kelu di genggaman Liz. Apa kata Robert, Juan, Andy, Krisna, dan...Riri? Cewek centil itu pasti meledeknya habis.
Sesaat kemudian dalam bayangannya tiba-tiba Liz panik, merengkuhnya, meneriakkan namanya berulang-ulang, menangis, menciuminya, memeluk kuat Jack dalam dekapannya. Badan Jack menjadi kaku, nyawanya seolah terpisah dari raganya. Laki-laki yang hobby bersepeda itu seperti melayang, melesat ke langit tanpa kendali, hingga....
Kringgggg.........!!!!!
Jack terbangun tersengal-sengal. Matanya menatap alarm jam beker di sampingnya. Jam 8 pagi! Sebentar kemudian matanya memandang kalender di samping jam bekernya. Hari ini agenda liputan ke kampus, karena ada seminar bisnis. Fuihhh...setelah sadar, senyumnya menyungging di bibirnya. Untung itu hanya mimpi. Kalau tidak? Nggaktahu deh...hihi.(end*)
Malam ini di kamar kos, jam sepuluh malam, mata Jack susah terpejam. Beberapa kali mencoba membayangkan kejadian-kejadian menarik agar bisa membuatnya tertidur tak juga mampu istirahat dengan nyaman. Kejadian tadi siang masih terbayang di benaknya. Dia sama sekali tidak tahu sebab musabab Liz menjadi sangat ramah padanya dan teman-teman sekantor. “Tumben, hari ini bisa tersenyum. Nggak seperti biasanya, yang membuat suram dunia persilatan radio ini. Huh...” Upss....dia telah merutuk dalam hati. Menjelang berangkat liputan, Liz menghampirinya dan menyodorkan satu kardus kecil.
“Nih, buat kamu.”
“Apa ini?”
“Sudah bukanya nanti saja. Dagh..”
Jack yang masih kebingungan menerima begitu saja bingkisan dari Liz dan memasukkannya ke tas ransel. Sesampai di lokasi liputan, sambil menunggu teman liputan dia membuka bingkisan pemberian Liz. Uh la la...dua potong brownies dengan ukuran cukup untuk makan siang dan cokelat berbentuk cinta. Eitt, tunggu dulu. Kok bentuk cinta sih? Sesaat pikiran Jack terpaku, tetapi sesaat kemudian tanpa berpikir panjang dilahapnya satu brownies kesukaannya.
“Yang penting kenyang..” serunya dalam hati.
Sorenya Jack kembali ke kantor dan lagi-lagi mendapati senyum manis kakak kelas yang koordinatornya itu. Jack membalasnya dengan senyum, dan matanya sejenak terpaku pada warna baju Liz yang full pink. Oh, mungkin dia sedang jatuh cinta. Bodo ah. Dia bergegas ke ruangan lain untuk kembali menulis hasil liputannya. Sepuluh menit kemudian Robert datang dan menghampirinya sambil berbisik.
“Kayaknya boss elu lagi jatuh cinta tuh”
“Iya. Dari pagi senyum terus. Coba dari dulu kayak gitu. Nggak bikin ngilu tulang” kedua reporter tertawa tertahan. Tiba-tiba Juan masuk dengan senyum dikulum.
“Ada apa sih kok hari ini pada senyum-senyum nggak jelas gitu?” Tanya Robert. Juan tertawa geli dan menepuk punggung lengan Jack.
“Selamat ya....sudah membuka aura-nya untuk kita”
“Maksud kamu apa sih?” Jack menjadi tambah tidak mengerti. Juan tertawa-tawa senang.
“Ya pokoknya gitu deh. Ada surprise kan buat kamu?”
Hati Jack bergidik.
“Ada apa sih?” Tanyanya meracau kepada Juan. Yang ditanya tak menjawab dan tak henti-henti tersenyum riang sambil melambaikan tangan berlalu dari ruangan. Robert tersenyum geli melihat tingkah keduanya.
“Emang kamu tahu yang dimaksud Juan?”
“Mungkin kamu melakukan sesuatu yang membuat Liz senang” Kontan tensi darah Jack naik ke ubun-ubun.
“Aku nggak ngelakuin apa-apa kok. Sumpah.” Ngeri juga dia membayangkan kalau sudah membuat Liz gede rasa dan begitu berharap dari sikapnya.
“Jujur saja deh, dia kan sudah lama suka sama kamu. Kamunya gimana?”
“Ya ampun Rob. Masak kamu nggak tahu sih sikapku selama ini. Ya enggaklah. Sudah ah, aku capek, mending bikin berita lagi aja. Bete!” Robert tambah keras tertawa. Sementara Jack beringsut melanjutkan pekerjaannya.
Jack masih belum bergeming. Diam-diam hatinya mencari makna bingkisan brownies dan cokelat dari Liz. Jangan-jangan itu masalahnya. Oh My God! Jack menepuk jidatnya keras.
Hari Selasa. Ini adalah jadwal Jack memproduseri acara talkshow news up date. Jam tujuh pagi dia berangkat dari kosnya dengan penuh semangat, karena dia yakin narasumber talkshow kali ini bisa diandalkan. Sesampai di kantor matanya bersirobok pandang dengan Liz. Jack memberikan senyum termanisnya. Liz nggak bergeming dan beringsut memalingkan muka.
“Sialan..” Rutuk Jack dalam hati. Kontan harinya tercoreng dengan kesuraman wajah Liz. “Ngapain juga aku tadi senyum ke dia. Masih mending kalo aku masih mau bertegur sapa dengan dia. Dari pada Juan.” Juan adalah teman sekantor yang berprofesi sebagai penyiar. Gadis berdarah Ambon ini memang sudah antipati dengan Liz, meski sebelumnya pernah dekat dan bersahabat dengannya. Tetapi sifat aneh Liz membuat Juan menjauh dan malas berteman dengannya.
Tiba-tiba ponsel Jack berbunyi tanda ada sms masuk. Dia memencet tombol inbox dan tertera nama pengirim sms: Riri. Begini bunyi smsnya: Hai Guys, semoga hari-harimu indah ya. Tentu kamu sudah nggak sabar dong melihat “senyumnya” yang menawan. Haha...”.
“Hhhggg..” Jack menjambak rambut eh kepalanya (dia baru sadar kalau rambutnya sudah dikepras habis setengah botak) kesal. Riri, mantan penyiar di radionya yang sekarang menjadi part timer di radio tetangga itu memang sering menggoda dan menjodoh-jodohkan Liz dengannya. Gadis lincah itu memang senang sekali ngerjain dia sampai habis kata-kata untuk membalas keonarannya.
“Masalahnya sederhana Jack. Dia tuh ada hati lho sama kamu”. Jack tak menggubris omongan Riri beberapa hari lalu, matanya tak berkedip menonton layar televisi. Andy yang berada di sebelah Riri tertawa tertahan. Sementara Juan dari kejauhan menunggu reaksi selanjutnya dari Jack sembari menikmati kepulan asap rokoknya.
“Sori ya, aku ngomong kayak gini bukan tanpa sebab. Dulu waktu pertama kali aku ke sini, aku nanya dong basa-basi tentang reporter baru. Trus dia bilang nama kamu. Pas aku tanya asal jurusan kuliah kamu, dianya cuman nyengir setengah malu...ada deh, katanya gitu. Sumpah.....dia kelihatan jatuh cinta sama kamu”. Andi dan Juan tergelak karenanya. Sementara muka Jack merah padam.
“Masak cuman jawaban begitu kamu bisa nyimpulin sih kalau dia suka sama aku?”
“Ya ampunn..dia tuh nggak biasa-biasanya mah cengar-cengir aneh gitu. Dan warna mukanya itu lhoo.....udah deh jadian aja. Siapa tahu kamu berhasil membuka aura masamnya selama ini. Hayukk...” Muka Jack bertambah merah dikerjain Riri. Dia berpikir keras untuk membalas ledekan gadis berambut lurus panjang itu.
“Masalahnya dia kayaknya susah dibenerin. Ternyata juga nih, kata temen-temenku waktu kuliah dulu dia juga udah masam gitu bawaannya. Foto dengan keempat teman saja, dia paling nggak bisa senyum sendiri. Nah lho? Ternyata lagi sampai sekarang, tetep aja kayak gitu. Ya susahlan...”
“Tapi Jack tapi....kamu mau dong berkorban buat temen-temen. Dia tuh perlu sentuhan cinta. Dan itu harus dari kamu karena emang dia bener naksir sama kamu. Sudahlah ajakin kek berkomunikasi. Jangan menjauh dong. Nggak bagus begitu” cerocos Riri lagi.
“Coba dong tiap pagi kamu sapa dia dengan kata “sayang” agenda liputanku hari ini adalah ke pemerintah kota, ke manalah bla bla...” jack tambah bersemu merah mukanya. Saban hari ketemu Riri selalu saja ada bahan untuk meledeknya. Hal itu diperparah dengan dukungan teman-teman lain yang tambah bersemangat untuk meledeknya. Alamakkk.....
Mungkin ini True Story-nya Jack n Liz?
Pelaku: Jack, Liz, Robert, Juan, Andy, Krisna, dan Riri.
Tidak ada yang istimewa pada diri gadis itu. Dia sewajarnya perempuan lain. Kemudian dia dipertemukan dalam satu lingkungan pekerjaan. Setelah sama-sama lulus, Jack mencoba peruntungannya melamar pekerjaan sebagai seorang jurnalis di beberapa perusahaan. Sampai kemudian dia dipertemukan kembali dengan Liz, pada salah satu kegiatan secara tidak sengaja. Dari Liz pulalah akhirnya Jack tahu, ada lowongan pekerjaan untuknya. Dengan senang hati laki-laki berkulit bersih itu mempersiapkan berkas lamaran untuk dikirim ke kantor Liz. Nggak ada kesulitan berarti karena pada saat yang sama, kantor Liz memang sangat membutuhkan tenaganya karena bertepatan dengan program liputan lalu-lintas arus mudik lebaran. Karena dirasa cukup memenuhi kualifikasi sebagai calon reporter, Jack akhirnya diterima bekerja. Sejak saat itu, bersama Robert (salah satu kawan baru reporter) Jack menjalani hari-harinya dengan bekerja sebagai seorang jurnalis radio, di bawah koordinasi Liz.
Sebagai koordinator dan senior reporter di kantornya, Liz dengan sabar memberi informasi-informasi terbaru, proses liputan, dan lainnya kepada Jack dan Robert. Sampai kemudian karena satu hal -–yang sampai saat ini Jack tidak habis mengerti— Liz berubah menjadi arogan. Perempuan berambut panjang berombak itu mendiamkan kedua anak buahnya tanpa mereka tahu duduk persoalannya. Jack sama sekali tak tahu mengapa dia bisa berubah sebegitu drastis. Raut muka Liz sering muram dan jutek, membuatnya dijauhi teman-teman di kantor. Bagaimana tidak? Saban hari ketemu dengan wajah cemberut, minim senyum, dan (maaf) wajahnya biasa. Wajar dong kalau teman-teman tidak mau hari-harinya ternoda dengan guratan kelabu, begitu berpapasan dengan Liz.
(bersambung.....)
Memang tidak cukup mudah mengatakan "tidak", karena banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk resiko. Dalam bekerja, ada sesuatu yang tidak nyaman, entah itu berhubungan dengan karyawan, pimpinan, atau hal lain. Meski di hati sangat paham bahwa hal itu salah, tidak boleh dilakukan, tetapi kadang keberanian untuk mengatakan "tidak" hanya terhenti pada tataran angan-angan.
Ketika keberanian mengatakan "tidak" direalisasikan, tak urung banyak reaksi dari berbagai sisi. Entah ada yang mengamini dan melihat itu sebagai hal positif. Tetapi ada pula yang tidak terima, mengklaim hal itu tak lazim, tak senonoh, dan semacamnya.
Bagi saya pribadi, mengatakan "tidak" adalah sebuah kejujuran, yang makin sulit didapat saat ini. Memang tak ternilai harganya, dan tidak bisa diterima dengan "legowo" oleh banyak pihak. Setidaknya dengan berkata jujur, saya tidak terbebani, meski harus menanggung banyak protes, atau ketidak terimaan orang lain yang tidak sepaham.
Begitulah kalau emosi sudah menguasai diri.
Tuhan saja maha pemaaf, kenapa kita, yang tidak berarti apa-apa, bisa mengatakan hal itu? Khilaf adalah kata yang pas untuk mewakili segenap peristiwa yang melingkupinya. Untung ada sebagian yang sadar, bahwa itu hanya sepercik dari seluruh proses, yang semoga kian mendewasakan kita. Termasuk latihan untuk menguasai emosi di diri.
Memang sih, ada yang tersinggung dengan hal itu. Tetapi demi sebuah proses, saya pikir cukup dewasa untuk memahami, cerdas berpikir dengan hati nurani. Kesakitan yang amat dalam dan tiada pemakluman bisa menjadi letupan yang keras. Tak terelakkan bisa terjadi. Tapi sekali lagi...itu hanya rentetan perjalanan dari suatu proses.
Begitu sulit, satu kata ini direalisasikan.
Berapa banyak orang menyatakan diri bersedia menerima kritik,
tetap saja.....ada kata "tetapi", "ini bukan pembelaan", dan semacamnya itu.
Apalagi kalau berkaitan dengan tataran usia.
Bekerja dalam tim, dengan rongga usia yang berbeda, sering menimbulkan salahpaham,
termasuk dalam penggunaan bahasa, etika, dan lainnya.
legowo memang harus menjadi satu sikap yang harus dipelajari untuk direalisasikan.
Bukan sekedar manis di bibir...(lagu kali...)
hehe....
Banyaklah suka duka dalam bekerja, entah itu berhubungan dengan lingkungan, hubungan antarkaryawan, sampe pemimpin. Singgungan masalah selalu terjadi, banyak yang mengeluh, banyak juga yang tanggap da sadar sepenuhnya, bahwa itu hanya riak kecil di lautan luas. Perjalanan nggak akan berhenti karena riak kecil saja.
Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menuntut kesempurnaan? Dalam artian, bisa saja kinerja seseorang akan selalu salah dan cacat di mata seseorang yang lain. Bolehkah ada maaf, apabila dia sudah berusaha, berinovasi, dengan tekad maju, tak hirau akan kemapanan? Dibanding dengan orang yang diam, dan mantap dengan keadaan. Kapan majunya?
Katanya sukses adalah 99% kegagalan. Tanpa action dan kegagalan, ya sudah, kita akan ditinggalkan kompetitor. Karamlah kapal kita. Selesai. So, saya lebih setuju untuk selalu mencoba lebih baik, meski di depan kegagalan sudah menghadang, dengan antisipasi resiko tentunya. Planing setelahnya, maju terussss........
Bisa jadi kita menghindari situasi seperti ini. Tapi jarang yang bisa luput darinya hehe....Saya pernah punya pengalaman yang nyebelin terkait situasi ini. Stag banget, ide mampat, bosen, bawaannya males. Nah lho!
Biasanya kalau seperti itu Saya menyempatkan diri membuka file klien lama atau bank data dari teman. Mencari-cari...orang baru yang bisa memberikan inspirasi. Seseorang itu nggak perlu orang terkenal, atau bisa jadi orang terkenal., biasanya punya stori sukses yang dahsyat, tergantung sih darimana kita memaknainya.
Akibatnya...saya dapat ide baru, fresh!
Uh lala....menyenangkannya hidup ini hehe...
waktu kita jalan nuju ke tempat kerja, entah dengan kaki, naik sepeda, motor, atau mobil, waktu awal mulai, kadang ngerasa males, atau bete, ditandain dengan raut muka cemberut, ngeselin siapapun yang ngelihat. Aku juga pernah merasa seperti itu. Ujungnya nunda-nunda berangkat, males-malesan di depan tivi, atau berlama-lama di kamar nggak tentu keperluannya.
Tapi sadar, kalo ngelakuin hal kayak gitu nggak penting banget.
Yang ada, semakin kita nunda, semakin numpuk masalah. Contoh, bisa saja kita ditelepon atasan, ada something urgent, belom lagi dicari-cari klien karena sudah sesiang ini nggak kasih konfirm posisi. Nah Lho....kita sendiri yang gedebukan nggak tentu.
So....
Yuk kita mulai hari ini dengan senyuman buat siapa saja:-)
wuiii.....gimana coba?