20.29

Kalau kita Pacaran, mau nggak?

“Kalau misalnya nih, kita pacaran, kamu mau nggak?” Kalimat itu selalu menghantui Liz sepanjang hari, sepanjang hidupnya. Jantungnya berdebar tak tentu, hatinya berbunga-bunga. Serasa di atas kepalanya menyembul lambang hati warna pink banyak sekali. Oughh indahnya. Liz tersenyum-senyum sendiri. Sama sekali tak menyangka kalimat itu ke luar dari bibir Joe, laki-laki yang diam-diam dikaguminya. Ternyata Tuhan tahu dan memberi apa yang aku minta, begitu batinnya. Meski banyak yang menilai Liz tidak modis, tomboy, tak proporsional, jadul, rambut konvensional, bla bla.......masa bodoh dengan itu. Toh kenyataannya, ada yang suka. Memang sih setelah kejadian itu, Joe belum mem-follow up lagi hasilnya, apakah Liz menerima atau menolak. Tetapi itu sudah cukup membuat hati Liz penuh warna, bersemangat, never die.

Sementara itu Joe gelisah bukan kepalang. Dia langsung mengevaluasi total perkataan yang sudah disampaikannya kepada Liz.

“Kalau misalnya nih, kita pacaran, kamu mau nggak?” Joe mengingat-ingat kalimat itu. Hmm...baru pakai “misalnya nih..”, artinya belum sungguh-sungguh. Kok Liz bisa pingsan sih? Alamak! Norak bener. Ya ya ya...Joe maklum.
“Mungkin aku satu-satunya cowok yang pernah menembak dia. Karena selama ini memang nggak ada cowok yang suka sama dia. Selain secara fisik Liz tidak menarik, gaya busananya jauh ketinggalan dibanding teman-teman sekampusnya. Selain itu, dia terkenal dengan ke-ge-er-annya yang membuat banyak cowok terbirit-birit menghindari Liz. Uffss...kenapa jadi begini sih? Apakah aku bener suka sama dia? Apa karena ada hal lain?” Joe menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidakkkk!! Joe sadar harus segera membuat keputusan. Tapi bagaimana caranya? Kalau dia mendekati Liz, Joe khawatir perempuan itu gede rasa. Kalau dibiarkan, pastinya dia akan meracau menggosipkan dia sudah menembak Liz. Buah simalakama yang harus dimakan. Huh!

***

Malam harinya Liz mencurahkan semua isi perasaan pada diary usang di depannya. Hanya diary-lah tempat liz berkeluh kesah tentang segala hal. Dia sama sekali tak punya teman dekat, baik laki-laki maupun perempuan. Dari SMA sampai sekarang, jarang dia punya sahabat yang bisa mengerti dia apa adanya. Kepada diary-lah semuanya dia ungkapkan.

“Kalau misalnya nih, kita pacaran, kamu mau nggak?” kalimat itu terus-meneru mengiang di telinga Liz. Suara serak bass Joe seolah menyelimuti hatinya setiap detik. Dari lubuk hatinya terdalam, Liz mengakui karisma Joe begitu mengusik jiwanya. Kalau dipikir, banyak kesamaan antara dia dan Joe. Sama-sama berbintang virgo, anak bungsu, seiman, ini yang lebih penting. Joe memiliki jiwa pekerja ulung dan sangat bertanggungjawab pada perempuan. Sangat cocok menjadi pendampingnya kelak. Apalagi dengan warisan orang tuanya, Liz yakin Joe akan bisa menjadi ayah dari anak-anaknya, bisa menggantikan posisi ayahnya untuk menjadi direktur di salah satu anak perusahaan. Betapa indahnya dunia....

Liz terus terbuai angan-angan tentang Joe. Tak pernah capek setiap malam dia menulis huruf besar-besar di diarynya, Joe dan Liz. Joe Love Liz, Liz Love Joe, Joe & Liz in Love. Semuanya-lah tentang mereka. Ya ya ya.....dunia juga akan tersenyum menyambut sepasang kekasih terserasi, Joe dan Liz. Mama akan tersenyum tulus, senang punya menantu seperti Joe. Liz bahkan membayangkan berangkat dan pulang kantor selalu bersama dengan Joe, tak pernah sedetikpun ada yang bisa memisahkan mereka berdua.

***

Setelah itu belum ada kelanjutan cerita antara mereka berdua. Joe tak pernah memfollow-up lagi perasaan sesungguhnya ke Liz. Dan dari kejauhan, perempuan yang sebenarnya berkulit putih itu hanya bisa memandang Joe penuh harap. Sedangkan Joe, masih berkutat pada perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Antara meneruskan ‘nembak’ ataukah diam di tempat. Sampai cerita ini ditulis, konon memang belum ada deklarasi sepenuhnya bahwa mereka jadian. Ya ya ya.....biarlah hati masing-masing yang bicara. Hahaha.....*

0 komentar: