ini foto waktu nunggu shooting acara CANDIRA di TATV Solo with Dina
Kecenderungan manusia seperti itu ya, baik dalam hal positif maupun negatif.
Termasuk selalu mencari kejelekan orang lain. Kenapa sih sulit banget mengakui kesalahan diri sendiri? Ibaratnya telunjuk menuding ke depan, tetapi empat jari lain menunjuk diri sendiri.
Mungkin perlu dicoba, meski berat rasanya. Karena lebih mudah mencerca kesalahan orang lain kan? Dari pada mengakui diri sendiri salah. Akibatnya memang orang lain yang menjadi korban. Untunglah ada yang bisa maklum dan memahami hal seperti ini.
Begitu sudah usai musin hujan...
Mulai deh, Semarang tampak aslinya, panas, panas, dan panas.
Ya begitulah. Sekarang musim jadi susah ditebak. Berangkat pagi-pagi ke tempat kerja, panas. Eh, sorenya hujan nggak mau kompromi. Hehehe..
Apapun itu, saya tetap menikmatinya kok.
Panas hujan tergantung hatinya.
Cheers!
Maksud hati ingin membayar kartu kredit di ATM Bank Mandiri, Jl Pahlawan Semarang. Nggak tau ngantuk atau bagaimana, pas mau parkir, meleset. Jatuh deh tuh motor berikut orangnya, alias saya hehehe....
Alhamdulillah Bapak Satpam dan Mas-Mas yang mau parkir sigap membantu. AKhirnya tidak sempat terjadi sesuatu yang membahayakan. Meskipun...spion lepas dari tempatnya, dan kaca berhasil melarikan diri sementara dari cover spionnya hehe...
Ting tong. Bunyi short message dari ponsel Jack nyala. Dibacanya satu pesan dari Liz.
“Ketemu di Black Canyon ya, jam 7. Ada yang penting aku bicarakan, menyangkut kerjasama program Yayasanku dan Komunitasmu”.
Jack merasa ada sesuatu dari kata-kata dalam sms itu. Memang sih, dia pernah berangan-angan bisa bikin kerjasama kegiatan dengan Yayasan yang dibentuk Liz dan teman-temannya. Tapi nggak biasanya Liz mengajak bertemu malam-malam, di tempat yang nggak biasa pula. Dibalaslah sms itu, “Apa harus di Black Canyon? Kalau di studio saja gimana?”
Liz langsung mereply smsnya, ”Aku nggak mau ngomongin masalah luar kantor, di kantor. Aku tunggu. Makasih”.
Ya sudah, akhirnya Jack menepati untuk ketemu Liz di tempat itu. Dari pembicaran berdua disepakati beberapa program ke depan yang bisa dikerjakan bersama. Menjelang akhir pembicaraan, Liz menyentuh jarinya. Jack terperangah dan menahan nafas sesaat.
“Jack, aku ingin kerjasama ini tidak hanya dalam tingkatan profesionalitas saja”
“Emm...maksudnya?” Suara Jack bergetar, perasaannya campur aduk tak tentu, antara marah, kaget, nggak suka, gugup, nggak jelas.
Liz menghela nafas perlahan. Matanya menatap mata Jack dalam yang membuat laki-laki di depannya kikuk, salah tingkah luar biasa.
“Aku tahu kamu semenjak kuliah. Kita sama-sama tahu. Kenapa dari awal aku memutuskan menerima bekerjasama di kantor dalam satu tim dengan kamu, adalah karena ada potensi besar dari diri kamu.”
“Ok. Thanks” Desis Jack hampir tak terdengar. Jemari Liz masih menyentuhnya.
“Sori aku harus mengatakannya, Jack. Aku berharap kamu bisa menjadi orang terdekatku, yang mendukungku dalam segala hal. Termasuk...” Suara Liz tertahan. Matanya tak berani lagi menatap mata Jack yang sudah tidak sabar menunggu lanjutan kata-katanya.
“Termasuk?” tanya Jack menyelidik.
“Dalam hal pribadi.”
“Dalam hal pribadi?” Jack memborbardir.
“Iya. Aku suka sama kamu. Aku ingin kamu jadi pacarku” Glek. Tenggorokan Jack seperti tersumbat bongkahan batu segedhe gajah. Dia tak bisa berkata-kata. Sorot mata Liz memelas di depannya.
“Kenapa Jack? Ada yang salah?”
Pandangan mata Jack melayang. Cairan di otaknya seperti menggenangi hampir separuh kepalanya. Tiba-tiba kepalanya berkunang-kunang, pikirannya terbang tak jelas. Seolah sudah dirancang sebelumnya, dari Black Canyon mengalun musik romantis Daniel Sahuleka...You Make My World so Colourfull Like......oughh itu kan lagu favorit Jack yang disukai Liz juga saat ini. Dan kenapa Liz merequestnya untuk malam ini, yang berarti itu semacam proklamasi hari jadi yang dilegitimasi oleh perempuan itu? My Godness...Jack tak bisa berkata apapun. Jemarinya kelu di genggaman Liz. Apa kata Robert, Juan, Andy, Krisna, dan...Riri? Cewek centil itu pasti meledeknya habis.
Sesaat kemudian dalam bayangannya tiba-tiba Liz panik, merengkuhnya, meneriakkan namanya berulang-ulang, menangis, menciuminya, memeluk kuat Jack dalam dekapannya. Badan Jack menjadi kaku, nyawanya seolah terpisah dari raganya. Laki-laki yang hobby bersepeda itu seperti melayang, melesat ke langit tanpa kendali, hingga....
Kringgggg.........!!!!!
Jack terbangun tersengal-sengal. Matanya menatap alarm jam beker di sampingnya. Jam 8 pagi! Sebentar kemudian matanya memandang kalender di samping jam bekernya. Hari ini agenda liputan ke kampus, karena ada seminar bisnis. Fuihhh...setelah sadar, senyumnya menyungging di bibirnya. Untung itu hanya mimpi. Kalau tidak? Nggaktahu deh...hihi.(end*)
Malam ini di kamar kos, jam sepuluh malam, mata Jack susah terpejam. Beberapa kali mencoba membayangkan kejadian-kejadian menarik agar bisa membuatnya tertidur tak juga mampu istirahat dengan nyaman. Kejadian tadi siang masih terbayang di benaknya. Dia sama sekali tidak tahu sebab musabab Liz menjadi sangat ramah padanya dan teman-teman sekantor. “Tumben, hari ini bisa tersenyum. Nggak seperti biasanya, yang membuat suram dunia persilatan radio ini. Huh...” Upss....dia telah merutuk dalam hati. Menjelang berangkat liputan, Liz menghampirinya dan menyodorkan satu kardus kecil.
“Nih, buat kamu.”
“Apa ini?”
“Sudah bukanya nanti saja. Dagh..”
Jack yang masih kebingungan menerima begitu saja bingkisan dari Liz dan memasukkannya ke tas ransel. Sesampai di lokasi liputan, sambil menunggu teman liputan dia membuka bingkisan pemberian Liz. Uh la la...dua potong brownies dengan ukuran cukup untuk makan siang dan cokelat berbentuk cinta. Eitt, tunggu dulu. Kok bentuk cinta sih? Sesaat pikiran Jack terpaku, tetapi sesaat kemudian tanpa berpikir panjang dilahapnya satu brownies kesukaannya.
“Yang penting kenyang..” serunya dalam hati.
Sorenya Jack kembali ke kantor dan lagi-lagi mendapati senyum manis kakak kelas yang koordinatornya itu. Jack membalasnya dengan senyum, dan matanya sejenak terpaku pada warna baju Liz yang full pink. Oh, mungkin dia sedang jatuh cinta. Bodo ah. Dia bergegas ke ruangan lain untuk kembali menulis hasil liputannya. Sepuluh menit kemudian Robert datang dan menghampirinya sambil berbisik.
“Kayaknya boss elu lagi jatuh cinta tuh”
“Iya. Dari pagi senyum terus. Coba dari dulu kayak gitu. Nggak bikin ngilu tulang” kedua reporter tertawa tertahan. Tiba-tiba Juan masuk dengan senyum dikulum.
“Ada apa sih kok hari ini pada senyum-senyum nggak jelas gitu?” Tanya Robert. Juan tertawa geli dan menepuk punggung lengan Jack.
“Selamat ya....sudah membuka aura-nya untuk kita”
“Maksud kamu apa sih?” Jack menjadi tambah tidak mengerti. Juan tertawa-tawa senang.
“Ya pokoknya gitu deh. Ada surprise kan buat kamu?”
Hati Jack bergidik.
“Ada apa sih?” Tanyanya meracau kepada Juan. Yang ditanya tak menjawab dan tak henti-henti tersenyum riang sambil melambaikan tangan berlalu dari ruangan. Robert tersenyum geli melihat tingkah keduanya.
“Emang kamu tahu yang dimaksud Juan?”
“Mungkin kamu melakukan sesuatu yang membuat Liz senang” Kontan tensi darah Jack naik ke ubun-ubun.
“Aku nggak ngelakuin apa-apa kok. Sumpah.” Ngeri juga dia membayangkan kalau sudah membuat Liz gede rasa dan begitu berharap dari sikapnya.
“Jujur saja deh, dia kan sudah lama suka sama kamu. Kamunya gimana?”
“Ya ampun Rob. Masak kamu nggak tahu sih sikapku selama ini. Ya enggaklah. Sudah ah, aku capek, mending bikin berita lagi aja. Bete!” Robert tambah keras tertawa. Sementara Jack beringsut melanjutkan pekerjaannya.
Jack masih belum bergeming. Diam-diam hatinya mencari makna bingkisan brownies dan cokelat dari Liz. Jangan-jangan itu masalahnya. Oh My God! Jack menepuk jidatnya keras.
Hari Selasa. Ini adalah jadwal Jack memproduseri acara talkshow news up date. Jam tujuh pagi dia berangkat dari kosnya dengan penuh semangat, karena dia yakin narasumber talkshow kali ini bisa diandalkan. Sesampai di kantor matanya bersirobok pandang dengan Liz. Jack memberikan senyum termanisnya. Liz nggak bergeming dan beringsut memalingkan muka.
“Sialan..” Rutuk Jack dalam hati. Kontan harinya tercoreng dengan kesuraman wajah Liz. “Ngapain juga aku tadi senyum ke dia. Masih mending kalo aku masih mau bertegur sapa dengan dia. Dari pada Juan.” Juan adalah teman sekantor yang berprofesi sebagai penyiar. Gadis berdarah Ambon ini memang sudah antipati dengan Liz, meski sebelumnya pernah dekat dan bersahabat dengannya. Tetapi sifat aneh Liz membuat Juan menjauh dan malas berteman dengannya.
Tiba-tiba ponsel Jack berbunyi tanda ada sms masuk. Dia memencet tombol inbox dan tertera nama pengirim sms: Riri. Begini bunyi smsnya: Hai Guys, semoga hari-harimu indah ya. Tentu kamu sudah nggak sabar dong melihat “senyumnya” yang menawan. Haha...”.
“Hhhggg..” Jack menjambak rambut eh kepalanya (dia baru sadar kalau rambutnya sudah dikepras habis setengah botak) kesal. Riri, mantan penyiar di radionya yang sekarang menjadi part timer di radio tetangga itu memang sering menggoda dan menjodoh-jodohkan Liz dengannya. Gadis lincah itu memang senang sekali ngerjain dia sampai habis kata-kata untuk membalas keonarannya.
“Masalahnya sederhana Jack. Dia tuh ada hati lho sama kamu”. Jack tak menggubris omongan Riri beberapa hari lalu, matanya tak berkedip menonton layar televisi. Andy yang berada di sebelah Riri tertawa tertahan. Sementara Juan dari kejauhan menunggu reaksi selanjutnya dari Jack sembari menikmati kepulan asap rokoknya.
“Sori ya, aku ngomong kayak gini bukan tanpa sebab. Dulu waktu pertama kali aku ke sini, aku nanya dong basa-basi tentang reporter baru. Trus dia bilang nama kamu. Pas aku tanya asal jurusan kuliah kamu, dianya cuman nyengir setengah malu...ada deh, katanya gitu. Sumpah.....dia kelihatan jatuh cinta sama kamu”. Andi dan Juan tergelak karenanya. Sementara muka Jack merah padam.
“Masak cuman jawaban begitu kamu bisa nyimpulin sih kalau dia suka sama aku?”
“Ya ampunn..dia tuh nggak biasa-biasanya mah cengar-cengir aneh gitu. Dan warna mukanya itu lhoo.....udah deh jadian aja. Siapa tahu kamu berhasil membuka aura masamnya selama ini. Hayukk...” Muka Jack bertambah merah dikerjain Riri. Dia berpikir keras untuk membalas ledekan gadis berambut lurus panjang itu.
“Masalahnya dia kayaknya susah dibenerin. Ternyata juga nih, kata temen-temenku waktu kuliah dulu dia juga udah masam gitu bawaannya. Foto dengan keempat teman saja, dia paling nggak bisa senyum sendiri. Nah lho? Ternyata lagi sampai sekarang, tetep aja kayak gitu. Ya susahlan...”
“Tapi Jack tapi....kamu mau dong berkorban buat temen-temen. Dia tuh perlu sentuhan cinta. Dan itu harus dari kamu karena emang dia bener naksir sama kamu. Sudahlah ajakin kek berkomunikasi. Jangan menjauh dong. Nggak bagus begitu” cerocos Riri lagi.
“Coba dong tiap pagi kamu sapa dia dengan kata “sayang” agenda liputanku hari ini adalah ke pemerintah kota, ke manalah bla bla...” jack tambah bersemu merah mukanya. Saban hari ketemu Riri selalu saja ada bahan untuk meledeknya. Hal itu diperparah dengan dukungan teman-teman lain yang tambah bersemangat untuk meledeknya. Alamakkk.....
Mungkin ini True Story-nya Jack n Liz?
Pelaku: Jack, Liz, Robert, Juan, Andy, Krisna, dan Riri.
Tidak ada yang istimewa pada diri gadis itu. Dia sewajarnya perempuan lain. Kemudian dia dipertemukan dalam satu lingkungan pekerjaan. Setelah sama-sama lulus, Jack mencoba peruntungannya melamar pekerjaan sebagai seorang jurnalis di beberapa perusahaan. Sampai kemudian dia dipertemukan kembali dengan Liz, pada salah satu kegiatan secara tidak sengaja. Dari Liz pulalah akhirnya Jack tahu, ada lowongan pekerjaan untuknya. Dengan senang hati laki-laki berkulit bersih itu mempersiapkan berkas lamaran untuk dikirim ke kantor Liz. Nggak ada kesulitan berarti karena pada saat yang sama, kantor Liz memang sangat membutuhkan tenaganya karena bertepatan dengan program liputan lalu-lintas arus mudik lebaran. Karena dirasa cukup memenuhi kualifikasi sebagai calon reporter, Jack akhirnya diterima bekerja. Sejak saat itu, bersama Robert (salah satu kawan baru reporter) Jack menjalani hari-harinya dengan bekerja sebagai seorang jurnalis radio, di bawah koordinasi Liz.
Sebagai koordinator dan senior reporter di kantornya, Liz dengan sabar memberi informasi-informasi terbaru, proses liputan, dan lainnya kepada Jack dan Robert. Sampai kemudian karena satu hal -–yang sampai saat ini Jack tidak habis mengerti— Liz berubah menjadi arogan. Perempuan berambut panjang berombak itu mendiamkan kedua anak buahnya tanpa mereka tahu duduk persoalannya. Jack sama sekali tak tahu mengapa dia bisa berubah sebegitu drastis. Raut muka Liz sering muram dan jutek, membuatnya dijauhi teman-teman di kantor. Bagaimana tidak? Saban hari ketemu dengan wajah cemberut, minim senyum, dan (maaf) wajahnya biasa. Wajar dong kalau teman-teman tidak mau hari-harinya ternoda dengan guratan kelabu, begitu berpapasan dengan Liz.
(bersambung.....)
Memang tidak cukup mudah mengatakan "tidak", karena banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk resiko. Dalam bekerja, ada sesuatu yang tidak nyaman, entah itu berhubungan dengan karyawan, pimpinan, atau hal lain. Meski di hati sangat paham bahwa hal itu salah, tidak boleh dilakukan, tetapi kadang keberanian untuk mengatakan "tidak" hanya terhenti pada tataran angan-angan.
Ketika keberanian mengatakan "tidak" direalisasikan, tak urung banyak reaksi dari berbagai sisi. Entah ada yang mengamini dan melihat itu sebagai hal positif. Tetapi ada pula yang tidak terima, mengklaim hal itu tak lazim, tak senonoh, dan semacamnya.
Bagi saya pribadi, mengatakan "tidak" adalah sebuah kejujuran, yang makin sulit didapat saat ini. Memang tak ternilai harganya, dan tidak bisa diterima dengan "legowo" oleh banyak pihak. Setidaknya dengan berkata jujur, saya tidak terbebani, meski harus menanggung banyak protes, atau ketidak terimaan orang lain yang tidak sepaham.
Begitulah kalau emosi sudah menguasai diri.
Tuhan saja maha pemaaf, kenapa kita, yang tidak berarti apa-apa, bisa mengatakan hal itu? Khilaf adalah kata yang pas untuk mewakili segenap peristiwa yang melingkupinya. Untung ada sebagian yang sadar, bahwa itu hanya sepercik dari seluruh proses, yang semoga kian mendewasakan kita. Termasuk latihan untuk menguasai emosi di diri.
Memang sih, ada yang tersinggung dengan hal itu. Tetapi demi sebuah proses, saya pikir cukup dewasa untuk memahami, cerdas berpikir dengan hati nurani. Kesakitan yang amat dalam dan tiada pemakluman bisa menjadi letupan yang keras. Tak terelakkan bisa terjadi. Tapi sekali lagi...itu hanya rentetan perjalanan dari suatu proses.
Begitu sulit, satu kata ini direalisasikan.
Berapa banyak orang menyatakan diri bersedia menerima kritik,
tetap saja.....ada kata "tetapi", "ini bukan pembelaan", dan semacamnya itu.
Apalagi kalau berkaitan dengan tataran usia.
Bekerja dalam tim, dengan rongga usia yang berbeda, sering menimbulkan salahpaham,
termasuk dalam penggunaan bahasa, etika, dan lainnya.
legowo memang harus menjadi satu sikap yang harus dipelajari untuk direalisasikan.
Bukan sekedar manis di bibir...(lagu kali...)
hehe....
Banyaklah suka duka dalam bekerja, entah itu berhubungan dengan lingkungan, hubungan antarkaryawan, sampe pemimpin. Singgungan masalah selalu terjadi, banyak yang mengeluh, banyak juga yang tanggap da sadar sepenuhnya, bahwa itu hanya riak kecil di lautan luas. Perjalanan nggak akan berhenti karena riak kecil saja.
Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menuntut kesempurnaan? Dalam artian, bisa saja kinerja seseorang akan selalu salah dan cacat di mata seseorang yang lain. Bolehkah ada maaf, apabila dia sudah berusaha, berinovasi, dengan tekad maju, tak hirau akan kemapanan? Dibanding dengan orang yang diam, dan mantap dengan keadaan. Kapan majunya?
Katanya sukses adalah 99% kegagalan. Tanpa action dan kegagalan, ya sudah, kita akan ditinggalkan kompetitor. Karamlah kapal kita. Selesai. So, saya lebih setuju untuk selalu mencoba lebih baik, meski di depan kegagalan sudah menghadang, dengan antisipasi resiko tentunya. Planing setelahnya, maju terussss........
Bisa jadi kita menghindari situasi seperti ini. Tapi jarang yang bisa luput darinya hehe....Saya pernah punya pengalaman yang nyebelin terkait situasi ini. Stag banget, ide mampat, bosen, bawaannya males. Nah lho!
Biasanya kalau seperti itu Saya menyempatkan diri membuka file klien lama atau bank data dari teman. Mencari-cari...orang baru yang bisa memberikan inspirasi. Seseorang itu nggak perlu orang terkenal, atau bisa jadi orang terkenal., biasanya punya stori sukses yang dahsyat, tergantung sih darimana kita memaknainya.
Akibatnya...saya dapat ide baru, fresh!
Uh lala....menyenangkannya hidup ini hehe...