Kadang aku merasa untuk mendapatkan sesuatu itu sifatnya 'harus'.
Sampai kini ego itu masih saja menjadi beban bagi diriku sendiri, dan tentunya orang lain yang pernah merasakan dampak dari ego itu.
Tetapi kalau mau berpikir jernih, sedikit tambah bersabar, ternyata sesuatu yang terlihat 'harus' itu menjadi 'tidak selalu harus'.
Langkah terberat adalah ketika mencoba menggeser perspektif itu.
Yang pasti, terberat bukan berarti tidak bisa.
Semoga aku selau diberi pikiran jernih, untuk melegakan hati, menepis ego ini.
Amien...
Semakin mantap Husni melewati hari-harinya. Semakin lengkap sudah ia merasakan nikmat hidupnya. Semenjak Joe mengatakan kalau cinta Liz hanya untuk Husni, seolah jantung pria kerempeng itu membengkak, dipenuhi bunga-bunga cinta. Selain itu dukungan dari teman-teman menyatakan bahwa Husni sebaiknya melanjutkan hubungan ini ke tahapan lebih serius menjadikannya lebih optimis menghadapi masa depannya. Menapaki hari seolah di atas pelangi, warna-warni indah sekali. Ow ow…..
Suatu petang seperti biasa, Husni berfutsal ria bersama teman-teman mantan se-kantornya dulu. Tiba-tiba Iyun, wartawan sebuah media cetak di kotanya mendekati Husni dan memberikan selamat.
“Selamat ya. Akhirnya kamu akan segera menikahi Liz. Aku sama sekali tak menyangka. Luar biasa lhp, Sob.”
Sontak teman-teman yang lain pada kaget dan memberikan ucapan yang sama ke Husni.
“Yang bener? Kenapa nggak dari dulu sih?” Argo, cowok tambun yang sexy itu tertawa sambil menepuk bahu Husni.
“Woi Husni...selamat ya. Aku tak menyangka selama ini di antara kalian telah bersemi biduk-biduk cinta. Aku turut senang mendengarnya. Resepsi mau di mana nih?” Adhi, cowok keturunan Arab itu terlihat ceria memberikan selamat kepada patner kerjanya itu.
Husni hanya tersenyum simpul. Di hatinya semakin bermekaran bunga-bunga cintanya kepada Liz.
“Ternyata teman-temanku mendukung. Ya sudahlah, apa mau di kata? Aku lebih yakin sekarang. Ya Tuhan, berilah anugerahmu selalu kepadaku dan Liz.” Doanya dalam hati dengan tulus. Hmmm....akhirnya....:-)
Husni melatih kekasihnya belajar main futsal. Kalau yang begini tentu bukan sembarang futsal. Istilahnya apa ya? Entahlah. Pastinya hati pria kurus yang rajin berolahraga itu berbunga-bunga sepanjang sesi latihan. Apalagi, saat ini pikirannya terfokus pada bagaimana mengembalikan masa-masa romantis dengan seseorang yang sangat dicintainya, dan sempat menghilang beberapa saat, karena cemburu dan kurang yakin, bahwa ia akan menjadi miliknya, selamanya.
“Peraturannya beda jauh nggak sih sama football yang sebenarnya? Ada bedanya?” Liz bertanya kepada Husni pada saru sesi latihan sore itu. Jantung Husni berdegup, merasa sedikit bangga.
“Futsal lebih fleksibel sih, peraturan standard saja yang perlu diinget, seperti handsball, itu sudah pasti, santai saja okay?” Perempuan dengan tubuh berisi itu tersenyum. Jantung Husni berdetak lebih cepat.
“Kenapa sih kamu suka futsal? Yang nonton banyak cewek-cewek ya?” Olala....Liz cemburu tampaknya. Dahi Husni mendadak berkeringat.
“Emh, enggaklah. Futsal kan olahraga yang mementingkan teamwork. Lagian seneng saja, ketemu teman-teman lama, sekalian reuni dan sehat. Di sana full cowok-cowok kok, nggak ada ceweknya. Kamu mau ikut?” Liz mengerjapkan mata sejenak.
“Boleh?” tanyanya berharap. Di sudut hati Husni tiba-tiba bermekaran bunga aneka warna, luar biasa harum baunya.
“Ya bolehlah.” Bibir pria yang nge-fans tim setan merah itu tersenyum senang.
“Tapi...Jack ikut nggak?” pertanyaan Liz begitu pelan nadanya, tetapi mata Husni menjadi gelap seketika. Jantungnya bergejolak tak beraturan. Nafasnya sesak tertahan. Ingatannya kembali ke masa ketika Jack dan Liz pernah dekat, menyisakan cemburu yang amat dahsyat berkecamuk di benaknya. Ingin rasanya saat itu ia memutar kembali roda waktu beberapa detik ke belakang, supaya Liz tak pernah menanyakan JACK pada waktu hatinya sedang senang dan bahagia seperti ini.
“Hei....kok malah diem?” Liz mengelus bahu Husni pelan. Husni tergagap.
“Eh sori..ehm, Jack? Oh dia, dia nggak ikut.” Jawab Husni singkat, sedikit merutuk.
“Oh ya sudah. Kalau gitu aku ikut ya nanti, kabari aku kalau kamu futsal. Jangan lupa, kalau tak keberatan, kamu bisa menjemput aku kan ke rumah?”
Suara Liz berapi-api. Suara yang membuat Husni tak berdaya menolak pesona perempuan yang saat ini mengisi hatinya itu. Semoga mulai hari ini akan menjadi semakin indah seterusnya, Tuhan....doanya dalam hati.*